Minggu, 29 April 2012

HUKUM PERIKATAN

Review Jurnal        :HUKUM PERIKATAN
Pengarang               : Rina  Andriana
Institusi                  : Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara
Sumber                 : http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/22875/6/Cover.pdf

Abstrak
Asuransi membawa misi ekonomi sekaligus sosial dengan adanya premi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi dengan jaminan adanya transfer of risk, yaitu
pengalihan (transfer) resiko dari tertanggung kepada penanggung. Dalam pelaksanaannya pengikatan suatu perjanjian asuransi saat ini juga dilakukan melalui telemarketing yang berpeluang untuk timbulnya perselisihan karena pengikatan melalui telemarketing hanya berupa kesepakatan pra kontrak. Praktek perjanjian Asuransi Jiwa Melalui Telemarketing  juga dilaksanakan oleh Asuransi Jiwa BNI Life. Penulisan bertujuan untuk menjelaskan dasar hukum pengikatan asuransi jiwa melalui telemarketing pada Asuransi Jiwa BNI Life, keabsahan pengikatan asuransi melalui telemarketing Asuransi Jiwa BNI Life ditinjau dari sudut aspek hukum perjanjian / hukum perikatan dan perlindungan hukum bagi tertanggung terhadap penggunaan telemarketing dalam hukum pengikatan asuransi.Hasil penelitian menunjukkan bahwa Telemarketing merupakan penawaran/pemasaran produk asuransi jiwa media telepon yang digunakan oleh Asuransi Jiwa BNI Life dalam rangka peningkatan pemasaran produk asuransi jiwa. Akan tetapi, pengikatan asuransi melalui telemarketing hanya merupakan suatu kesepakatan prakontrak yang tidak mengikat seperti halnya polis asuransi. Kesepakatan melalui telemarketing dalam pelaksanaannya tidak menjadi suatu alat bukti karena hanya merupakan kesepakatan lisan

Kata Kunci
Asuransi Jiwa, Telemarketing dan Hukum Perikatan
I.    Pendahuluan

Didalam system pengaturan hukum perikatan dalam Buku III Kitab Undang Undang Hukum Perdata ( KUH Perdata ) menganut system terbuka, yakni setiap orang dapat mengadakan perjanjian mengenai apa pun sesuai dengan kehendaknya, artinya dapat menyimpang dari apa yang telah di teteapkan dalam Buku III KUH Perdata baik mengenai bentuk maupun isi perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.
Dengan demikian, apa yang diatur dalam Buku III KUH Perdata merupakan hokum pelengkap    ( aanvullendrecht ), yakni berlaku bagi para pihak yang mengadakan perjanjian sepanjang mereka tidak mengesampingkan syarat-syarat dan isi dari perjanjian.


II.   Permasalahan

Perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi antara dua orang ( pihak ) atau lebih, yakni pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi, begitu juga sebaliknya.Terdapat perbedaan pendapat dari beberapa ahli hokum dalam memberikan istilah hukum perikatan. Misalnya, Wiryono Prodjodikoro dan R. Subekti.
1.    Wiryono Prodjodikoro dalam bukunya   Asas-Asas Hukum Perjanjian Verbintenissenrecht ( Bahasa belanda ) oleh Wirjono diterjemahkan menjadi hokum perjanjian bukan hokum perikatan
2.    R. Subekti dalam bukunya pokok-pokok Hukum Perdata menulis perkataan perikatan mempunyai arti yang lebih luas dari perkataan perjanjian , sebab di dalam Buku KUH III Perdata memuat tentang perikatan yang timbul dari :
-    Persetujuan atau perjanjian
-    Perbuatan yang melanggar hokum
-    Pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan.
Perjanjian dalam bahasa Belanda disebut overeenkomst, sedangkan hokum perjanjian disebut overeenkomstenrecht. Sementara itu, pengertian perikatan lebih luas dari perjanjian, perikatan dapat terjadi karena Perjanjian ( kontrak ) dan Bukan dari perjanjian ( dari undang-undang ) Perjanjian adalah peristiwa di mana pihak yang satu berjanji kepada pihak yang lain untuk melaksanakan suatu hal. Dari perjanjian ini maka timbulah suatu peristiwa berupa hubungan hukum antara kedua belah pihak. Hubungan hukum ini yang dinamakan dengan perikatan.
    Dengan kata lain, hubungan perikatan dengan perjanjian adalah perjanjian yang menimbulkan perikatan. Perjanjian merupakan salah satu sumber yang paling banyak menimbulkan perikatan, karena hukum perjanjian menganut sistem terbuka. Oleh karena itu, setiap anggota masyarakat bebas untuk mengadakan perjanjian.
III.  Pembahasan
A.    Dasar Hukum Perikatan
Dasar hukum perikatan berdasarkan KUH Perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut :
1.    Perikatan yang timbul dari persetujuan ( perjanjian )
2.    Perikatan yang timbul dari undang-undang
    Perikatan yang timbul dari undang-undang dapat dibagi menjadi dua, yakni :
a.    Perikatan terjadi karena undang-undang semata, misalnya kewajiaban orang tua   untuk memelihara dan mendidik anak, yaitu hokum kewarisan
b.    Perikatan terjadi karena undang-undang akibat perbuatan manusia menurut hukum terjadi karena perbuatan yang diperbolehkan ( sah ) dan yang bertentangan dengan hokum ( tidak sah )
3.    Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hokum dan perwakilan sukarela.

B. Asas-Asas dalam Hukum Perjanjian
        Asas-asas dalam hukum perjanjian diatur dalam Buku III KUH Perdata, yakni mengatur asas kebebasan berkontrak dan asa konsensualisme
1.    Asas Kebebasan Berkontrak
    Asas kebebasan berkontrak terlihat di dalam pasal 1338 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang di buat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membutanya.Dengan demikian, cara ini dikatakan sistem terbuka, artinya bahwa dalam membuat perjanjian ini para pihak diperkenankan untuk menentukan isi dari perjanjianya dan sebagai undang-undang bagi mereka sendiri, dengan pembatasan perjanjian yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan ketentuan undang-undang, ketertiban umum , dan norma kesusilaan.
2.    Asas Konsensualisme
        Asas Konsensualisme artinya bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas.Dengan demikian, asas konsensualisme lazim disimpulkan dalam pasal 1320 KUH Perdata, untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan 4 syarat adalah kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri ; cakap untuk membuat suatu perjanjian ; mengenai suatu hal tertentu ; suatu sebab yang halal. Dengan kata lain, dua syarat yang pertama dinamakan syarat-syarat subjektif, yakni jika salah satu pihak tidak dipenuhi maka pihak yang lain dapat minta pembatalan. Sedangkan dua syarat yang lain dinamakan syarat-syarat objektif , yakni jika salah satu syarat tidak dipenuhi maka perjanjian batal demi hukum , artinya perjanjian itu dianggap tidak pernah ada.dengan demikian , akibat dari terjadinya perjanjian maka undang-undang memnentukanbahwa perjanjian yang sah berkekuatan sebagai undang-undang. Oleh karena itu, semua persetujuan yang dibuat secra sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dengan kata lain persetujuan-persetujuan tidak dapat ditarik kembali selain dengan adanya kata sepakat dari kedua belah pihak atau karena alasan-alasan oleh undang-undang yang dinyatakan cukup untuk itu. Maksudnya persetujuan-persetujuan itu harus dilaksanakan dengan  iktikad baik.

C. Wanprestasi
    Sementara itu,wanprestasi timbul apabila salah satu pihak (debitur) tidak melakukan apa yang diperjanjikan, misalnya ia alpa ( lalai ) atua ingkar janji.adapun bentuk dari wanprestasi bisa berupa 4 kategori :
1.    tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya
2.    melaksanakan apa yang dijanjiaknnya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan
3.    melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat
4.    melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Dengan demikian, terhadap kelalaian atua kealapaan debitor sebagai pihak yang melanggar kewajiban, dapat diberikan beberapa sanksi atau hukuman. Akibat –akibat wanprestasi berupa hukuman atua akibat akibat bagi debitur yang melakukan wanprestasi , dapat digolongkan menjadi tiga kategori :
1.    Membayar kerugian yang diderita oleh krediitur ( ganti rugi ). Ganti rugi sering   diperinci meliputi tiga unsure , yakni :
a)    biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak;
b)    rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditor yang diakibatkan oleh kelalaian si debitor;
c)    .bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditor.

2.    Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian
Bertujuan untuk membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan. Kalau satu pihak sudah menerima sesuatudari pihak yang lain, baik uang maupun barang maka harus dikembalikan sehingga perjanjian itu ditiadakan.
3.    Peraliahan resiko
Adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah atu pihak yang menimpa barang dan menjadi objek perjanjian sesuai dengan pasal 1237 KUH Perdata.

Hapusnya Perikatan
Perikatan itu bisa di hapus jika memenuhi kriteria-kriteria sesuai dengan pasal 138 KUH Perdata. Ada 10 cara penghapusan suatu perikatan adalah sebagai berikut :
a.    pembayaran merupakan setiap pemenuhan perjanjian secara sukarela
b.    penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan.
c.    Pembaharuan utang
d.    Perjumpaan utang atau kompensasi
e.    Percampuran utang
f.    Pembebasan utang
g.    Musnahnya barang yang terutang
h.    Batal/pembatalan
i.    Berlakunya suatu syarat batal
j.    Lewat waktu

    Memorandum Of Understanding ( MoU )
Merupakan perkembanagan baru dalam aspek hukum dalam ekonomi, karena di Indonesia istilah MoU baru akhir-akhir ini dikenal.seblumnya , dalam ilmmu ekonomi maupun ilmu hukum tidak ada. Menurut pendapat Munir Faudi, MoU merupakan terjemahan bahasa indonesia yang paling pas dan paling dekat dengan nota kesepakatan.pada hakikatnya MoU merupakan suatu perjanjian pendahuluan yang nantinya akan diikuti dan dijabarkan dalam perjanjian lain yang mengaturnya secara lebih detail.apabila MoU merupakan perjanjian biasa,yakni salah satu pihak ingkar janji maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan gugatan wanprestasi, tetapi kalau suatu menorandum of understanding dianggap sebagai suatu perjanjian pra kontrak maka pihak yang dirugikan tidak menuntut ganti rugi.
Ciri-ciri Memorandum of Understanding adalah sebagai berikut :
a.    isinya ringkas , sering kali hanya satu halaman saja
b.    berisikan hal-hal yang pokok-pokok saja
c.    hanya bersifat pendahuluan saja, yang akan diikuti oleh perjanjian lain yang lebih rinci
d.    mempunyai jangka waktu berlakunya ( 1 bulan , 6 bulan atau setahun )

Alasan-alasan dibuatnya momerandum of understanding adalah sebagai berikut :
a.    karena prospek bisnisnya belum jelas sehingga belum bisa dipastikan.
b.    Karena dianggap penandatanganan kontrak masih lama dengan negosisasi yang alot.
c.    Karena tiap-tiap pihak dalam perjanjian masih ragu-ragu dan perlu waktu dalam memnandatangani suatu kontrak.
d.    Dibuat dan di tanda tangani oleh para eksekutif dari suatu perusahaan maka perlu suatu perjanjian uyang lebih rinci yang dirancang dan dinegosiasi khusus oleh staf-staf yang berkaitan.

Tujuan momerandumof understanding
    Di dalam suatu perjanjian yang didahului dengan membuat mou dimaksudkan supaya memberikan kesempatan kepadapihak yang bersepakat untuk memperhitungkan apakah saling menguntungkan atau tidak jika diadakan kerja sama, sehinga agar memorandum of understanding dapat ditindaklanjuti dengan perjanjian dan dapat diterapkan sanksi-sanksi.jika salah satu pihak melakukan wanprestasi, tetapi jika sanksi-sanksi sudah dicantumkan dalam memorandum of understanding akan berakibat bertentangan dengan hukum petjanjian/perikatan, karena dalam mof belum ada suatu hubungan hukum antara para pihak , yang berarti belum mengikat.
    Dalam hukum perjanjian kedudukan mof baik yang mengandung karakter sebagai kontrak atau tidak mengandung kontrak hanyalah sebagai tahap pendahuluan untuk mengadakan perikatan, sehingga belum mengikat para pihak dan sanksi pun belum dapat diberlakukan.


IV.  Kesimpulan
Perikatan dalam hal ini berarti ; hal yang mengikat orang yang satu terhadap orang yang lain. Hal yang mengikat itu menurut kenyataannya dapat berupa perbuatan, misalnya jual beli barang. Dapat berupa peristiwa, misalnya lahirnya seorang bayi, meninggalnya seorang. Dapat berupa keadaan, misalnya; letak pekarangan yang berdekatan, letak rumah yang bergandengan atau letak rumah yang bersusun (rusun). Karena hal yang mengikat itu selalu ada dalam kehidupan bermasyarakat, maka oleh pembentuk undang-undang atau oleh masyarakat sendiri diakui dan diberi ‘akibat hukum’. Dengan demikian, perikatan yang terjadi antara orang yang satu dengan yang lain itu disebut hubungan hukum. Untuk mengkonkretkan pengertian perikatan yang abstrak maka perlu adanya suatu perjanjian. Oleh karena itu, hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah demikian, bahwa perikatan itu dilahirkan dari suatu perjanjian.



Referensi
http://www.scribd.com/doc/20976269/Definisi-Hukum-Perikatan
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/22875/6/Cover.pdf

Disusun Oleh :
•    Annisa Meidiyoana (20210919)
•    Dina Munawaroh (22210064)
•    Dini Triana (22210079)
•    Laraz Sekar Arum W. (23210968)
•    Nia Ismatu Ulfa (24210956)
Kelas  : 2EB05

Review Jurnal Hak Atas Kekayaan Intelektual

Review Jurnal           : Implementasi Hak Kekayaan Intelektual (HKI) pada Industri Batik di   Pekalongan

Pengarang    : Siti Asadah Hijriwati dan Esmara Sugeng
Institusi            : Fakultas Hukum Univ. Pekalongan
Abstrak
HKI adalah hak yang timbul sebagai akibat dari manusia karya tindakan kreatif menghasilkan inovatif yang dapat diterapkan dalam kehidupan manusia. Sebagai hak eksklusif, perlindungan Hak Kekayaan Intelektual pada mulanya merupakan bentuk perlindungan yang diberikan oleh Negara bagian ide atau hasil karya warga negaranya, dan karena itu hak atas Kekayaan Intelektual adalah kenegaraan fundamental teritorial. Pengakuan Hak Kekayaan Intelektual perlindungan di sebuah Negara tidak berarti perlindungan Hak Kekayaan Intelektual di Negara lain. Pelaksanaan ketentuan mengenai Hak Kekayaan Intelektual telah dilaksanakan tetapi belum maksimal hal ini disebabkan karena persepsi masyarakat yang beragam di satu sisi banyak yang menganggap HKI belum diperlukan karena akan membatasi seseorang untuk berbuat baik kepada sesama manusia, tetapi ada juga orang yang sudah mulai menyadari pentingnya HKI sehingga berusaha melindungi HKI dalam hal ini adalah Hak Cipta dan Merek Dagang Hak. Namun dalam pelaksanaan HKI ada juga kendala yang menyertai system pemasaran yang belum baik, sering mengubah-ubah bahwa motif serta modal terbatas dan sumber daya manusia.


Pendahuluan
Masyarakat Pekalongan tidak dapat dilepaskan dari batik, karena batik merupakan urat nadi perekonomian masyarakat pekalongan, batik dan masyarakat pekalongan dapatlah diibaratkan “dua sisi mata uang”. Batik yang diusahakan oleh masyarakat Pekalongan sebagai sebuah industri dapat diusahakan dalam skala kecil berupa industry rumahan atau industry rumah tangga sebagai mata pencaharian maupun dalam skala besar sebagai sebuah perusahaan yang dikelola secara modern dengan manajemen yang baik. Sebagai tumpuan kegiatan ekonomi masyarakat, industri batik pernah mengalami masa kejayaan pada dekade 1960 - 1970-an. Sampai sekarang industri batik masih menjadi tumpuan kegiatan ekonomi sebagian besar masyarakat Pekalongan. Hasil produksi batik Pekalongan tidak hanya dipasarkan di pasar lokal saja, namun telah menembus pasar internasional.

                                                              
Landasan Teori

Bagi Indonesia, sikap dan budaya masyarakatnya kadang justru menjadi kendala dan penghalang serta sulit untuk mendukung penerapan dan penegakan hukum dibidang ini. Keadaan semacam ini harus dikoreksi dan terus diarahkan sehingga budaya menghargai HKI dapat ditegakkan secara realistik. Karena jika keadaan rendahnya penghargaan terhadap HKI ini terus berlangsung, selain akan berdampak hilangnya iklim kreatifitas, dan terlanggarnya hak-hak individu yang sangat fundamental, juga akan berakibat terkucilnya Negara dari dunia internasional.
Bagi industri berbasis kerakyatan seperti industri batik yang penuh dengan kreatifitas ketentuan-ketentuan HKI dalam TRIPs ini sangat memberikan kepastian hukum. Akan tetapi bagi kebanyakan masyarakat Pekalongan, Ciptaan atau kreatifitas mereka berfungsi sosial, dan meraka akan merasa bangga jika hasil karya mereka banyak yang meniru. Bahkan dalam era perdagangan bebas sekarang inipun penjualan hasil karya mereka dilakukan tanpa label, dan pihak pembeli dengan leluasa malakukan llabeling atas nama mereka. Dengan demikian kreatifitas mereka menjadi milik orang lain dengan mudah. Oleh karena itu penegakkan hukum dibidang Hak Cipta pada industri batik di Pekalongan mutlak diperlukan, mengingat seni batik merupakan salah satu ciptaan yang dilindungi oleh Hak Cipta.
Metode Penelitian

Metode penulisan review jurnal ini menggunakan metode pendekatan Sosio Legal Research. Pengunaan metode sosio legal research disamping metode penelitian normatif akan memberi bobot lebih pada penelitian yang bersangkutan dan merupakan penelitian deskriptif sosiologi.
Pembahasan
A.    Implementasi Hak atas Kekayaan Intelektual Khususnya Hak Cipta pada Industri Batik di Pekalongan
Bagi industri batik di Pekalongan keharusan untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan tentang Hak atas Kekayaan Intelektual harus dihadapi secara khusus, karena pada umumnya pelaku usaha dibidang batik sebelumnya tidak pernah berfikir untuk memberikan perlindungan hukum terhadap kreasi-kreasi mereka berupa desain batik. Untuk itu hal yang pertama dilakukan oleh Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan UMKM Kota Pekalongan adalah melaksanakan sosialisasi Hak Kekayaan Intelektual khusunya Hak Cipta dan Merek, yang sangat berkaitan sekali dengan dunia industri batik dan dikaitkan dengan diberlakukannya konsep perdagangan bebas. 
B.      Kendala-kendala dalam Implementasi HKI pada Industri Batik
1.      Pemasaran
Pelaksanaan ketentuan-ketentuan mengenai Hak atas Kekayaan Intelektual (HKI) di atas, ternyata yang menjadi kendala utama adalah aspek pemasaran. Meskipun tidak tertulis antara produsen dan konsumen telah terjadi semacam perjanjian agar produk batik yang masih berupa kain tidak boleh diberi label / nama pada kainnya sehingga pembeli bisa bebas menjual kembali. Sebagai contoh, rumah batik terkenal macam Danar Hadi sering “kulakan” ke produsen-produsen batik di Pekalongan, kadang juga memesan khusus untuk Danar Hadi.
Konsep pemasaran seperti itu telah berlangsung secara turun temurun. Bagi mereka agar usaha dapat terus berlangsung konsumen merupakan hal yang sangat penting, sehingga para produsen batik ini selalu mencari bagaimana agar konsumen tetap setia untuk membeli produk mereka ditengah persaingan industri khususnya batik yang semakin ketat, meskipun mereka harus menagabaikan perlindungan hukum pada produk mereka.
2.      Trend Motif
Batik Pekalongan merupakan batik yang dinamis, terlihat dari warna yang menyala dan ragam motif yang selalu mengikuti perkembangan permintaan pasar. Perkembangan permintaan pasar akan motif-motif baru berlangsung sangat cepat. Hanya dalam waktu tidak lebih dari tiga bulan, trend motif sudah berubah. Apabila produsen tidak segera menyikapi kondisi pasar yang demikian, maka produknya tidak akan laku karena sudah ketinggalan mode. Dampak positif dari kondisi pasar seperti ini adalah ide kreatif para pengrajin terpacu untuk menghasilkan karya-karya baru.
Tempo perubahan permintaan pasar akan motif-motif baru yang sangat cepat dan tempo pengurusan pendaftaran Hak cipta maupun Merek yang relatif lama dalam praktek, membuat para produsen batik enggan untuk mendaftarkan karya desain batik mereka. Dalam perhitungan isnis juga dikatakan tidak “cucuk” karena apabila proses pendaftaran selesai permintaan pasar sudah berubah. Jadi boleh dikatakan percuma didaftarkan, dilindungi, karena tidak ada yang akan meniru motif yang didaftarkan tersebut sebab pasar tidak menghendaki lagi.
3.      Modal dan Sumber Daya Manusia
Pelaku industri batik banyak diantaranya dikerjakan oleh pengrajin batik. Para pengrajin ini mempunyai keahlian dalam membatik, namun tidak mempunyai modal untuk berusaha. Peran mereka dalam industri perbatikan adalah menjadi buruh batik pada perusahaan-perusahaan batik besar yang ada. Ditangan para buruh batik yang juga merupakan para pengrajin batik inilah berbagai ragam hias desain batik dihasilkan. Pengusaha batik dengan modal besar biasanya hanya menyerahkan motif/desain batik kepada pengrajin yang menjadi buruh mereka, kecuali motif yang sudah dipesan.
Pengrajin batik yang bekerja sebagai buruh batik diupah berdasarkan hasil yang dia peroleh perharinya, dengan nilai relatif kecil. Kehidupan pengrajin yang serba pas-pasan untuk hidup tidak memungkinkan mereka berfikir untuk mendapatkan perlindungan hukum atas hasil kreasi mereka berupa desain batik.
C.    Persepsi Pelaku Industri Perbatikan Terhadap Hak atas Kekayaan Intelektual (HKI)
Persepsi masyarakat Pekalongan terhadap Hak Kekayaan Intelektual dapat dianalisis dari dua sudut pandang yaitu persepsi tradisional dan persepsi modern, dimana kalau dilihat ada pergeseran susut pandang mengenai HKI dalam masyarakat.
1.      Persepsi Tradisional Industri terhadap Merk
Kurangnya pemahaman kalangan industri terhadap HKI inklusif Hak Cipta dan Hak Merek tidak terlepas dari perkembangan HKI itu sendiri, masalah perlindungan terhadap HKI juga masih jauh dari harapan sehingga menimbulkan berbagai permasalahan. Kalangan industri belum begitu yakin akan perlindungan hukum terhadap merek yang dimilikinya tidak akan dimanfaatkan (dipalsu) oleh pihak lain untuk kepentingan mendapatkan keuntungan.
Dengan banyaknya permasalahan yang berkaitan dengan HKI membuka mata banyak kalangan, bahwa persepsi mereka selama ini terhadap sebuah merek ternyata keliru karena melalui sebuah merek, maka mereka dapat menjalin ikatan emosional dengan konsumen sehingga menimbulkan kesan fanatisme dan sugestif terhadap produk yang bermerek.
2.      Persepsi Modern Kalangan Industri terhadap HKI
Persepsi modern kalangan industri terhadap Hak atas Kekayaan Intelektual (HKI) inklusif Hak Cipta dan Hak Merek tidak terlepas dari semakin gencarnya kampanye mengenai pengembangan dan perlindungan HKI, sehingga membangkitkan kesadaran para pelaku industri betapa pentingnya HKI dalam menunjang kelangsungan usahanya.
Perlunya HKI juga disadari oleh kalangan industri akan identitas bagi produknya sehingga dapat dikenal oleh konsumen dan dapat menimbulkan ikatan emosional dari konsumen yang pada akhirnya menumbuhkan kesan sugestif terhadap produk tersebut. Dengan semakin majunya perdagangan menjadikan pelaku usaha Pekalongan menjadari akan pentingnya HKI inklusif Hak Cipta dan Hak Merek, sehingga mendorong mereka untuk mendapatkan HKI guna mengamankan produk mereka dan memenangkan kompetisi persaingan.
Kesimpulan
a.     Implementasi Hak Kekayaan Intelektual pada Industri batik di Pekalongan belum sepenuhnya dapat diterapkan, hal itu dikarenakan basis dari usaha batik di Pekalongan sebagian besar adalah kalangan industri rumah tangga, disamping itu pemahaman mereka akan hak kekayaan intelektual masih sangat kurang.
b.     Dalam implementasi HKI khususnya pada industry batik banyak menemui kendala, kendala yang banyak muncul seperti sistem pamasaran, trend mode, modal dan sumber daya manusia.
c.     Persepsi kalangan usaha batik pekalongan akan pentingnya HKI selama ini masih belum menyeluruh bagi sebagian pihak ternasuk golongan “wong kaji”, mereka percaya bahwa rejeki sudah ada yang mengatur, tetapi banyak kalangan pengusaha batik yang sudah menyadari akan pentingnya HKI, karena bagi mereka HKI membawa manfaat dan mendatangkan keuntungan yang berlipat-lipat.
Referensi

Disusun Oleh :
  • Annisa Meidiyoana             (20210919)
  • Dina Munawaroh                 (22210064)
  • Dini Triana                               (22210079)
  • Laraz Sekar Arum W             (23210968)
  • Nia Ismatu Ulfa                       (24210956)
Kelas  : 2EB05

Perlindungan Konsumen Dalam Transaksi Melalui Multi Level Marketing (MLM)

Review Jurnal    : Perlindungan Konsumen Dalam Transaksi Melalui Multi Level Marketing (MLM)
Pengarang         : Heny Sekartati
Institusi              : Universitas Sumatra Utara, Medan
Sumber             : http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/12174/1/09E02091.pdf

Abstrak
Istilah Multi Level Marketing (MLM) memang sudah sangat familiar dengan kita. Tetapi kalau boleh jujur pada awal pemunculannya, MLM sarat dengan kotroversi. Banyak dari mereka mempertayakan, apakah benar system penjualan ala Multi Level Maketing benar-benar menguntungkan? Apakah benar tidak mengandung resiko bagi sang konsumen? Dan masih banyak lagi pertanyaan yang timbul di benak kita.
Beberapa hal tersebutlah yang menjadi pertimbangan diundangkannya Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang berlaku efektif tanggal 20 April 2000. Undang-undang Perlindungan Konsumen telah lama dinantikan oleh banyak pihak karena ketentuan Hukum yang melindungi kepntingan konsumen di Indonesia dinilai belum memadai, karena pembangunan perekonomian nasional pada era globalisasi harus dapat mendukung tumbuhnya dunia usaha, sehingga mampu menghasilkan barang dan jasa.
Proses globalisasi ekonomi yang sekarang berlangsung akan memperluas ruang gerak arus transaksi barang dan jasa melintasi batas wilayah Negara. Keluar masuknya barang dan jasa akan mempunyai manfaat bagi konsumen. Konsumen mempunyai kebebasan untuk memilih barang dan jasa yang dibutuhkan, banyak alternative untuk memilih barang dan jasa yang ditawarkan, antara lain dengan Sistem Penjualan yang Berjenjaang atau Multi Level Marketing (MLM). Namun disisi lain timbul dampak negative, yaitu konsumen akan menjadi sasaran atau objek aktivitas bisnis para pelaku usaha untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya.
Tetapi sayangnya tidak sedikit masyarakat yang pernah terjebak dalam system penjualan berkedok MLM, seperti praktek bank gelap, money game, skema piramida, arisan berantai, dan lain sebagainya yang menjerumuskan dan sangat merugikan masyarakat. Oleh karena itu, perlu upaya yang sungguh-sungguh dalam melihat dan memanfaatkan era globalisasi ini. Untuk itu perlu ditingkatkan harkat dan martabat konsumen yang dilakukan melalui peningkatan kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemandirian konsumen, untuk melindungi dirinya dan disisi lain perlu pula dtumbuhkembangkan sikap pelaku usaha yang bertanggungjawab.

Pendahuluan
Setiap orang, pada suatu waktu, dalam posisi tunggal, sendiri maupun berkelompok bersama orang lain, dalam keadaan apapun pasti menjadi konsumen untuk suatu produk barang atau jasa tertentu. Keadaan yang Universal ini pada beberapa sisi menunjukkan adanya beberapa kelemahan pada konsumen, sehingga konsumen tidak mempunyai kedudukan yang “aman”. Oleh karena itu, secara mendasar konsumen juga membutuhkan perlindungan hukum yang bersifat universal juga.
Konsumen yang keberadaannya sangat tidak terbatas, dengan strata yang sangat bervariasi menyebabkan produsen melakukan kegiatan pemasaran dan distribusi produk barang atau jasa dengan cara-cara seefektif mungkin agar dapat mencapai konsumen yang sangat majemuk tersebut. Utuk itu semua cara pendekatan diupayakan sehingga mungkin menimbulkan berbagai dampak, termasuk keadaan yang menjurus pada tindakan yang bersifat negative bahkan tidak terpuji yang berawal dari itikad buruk. Dampak buruk yang lazim terjadi, antara lain menyangkut kualitas atau mutu barang, informasi yang tidak jelas bahkan menyesatkan, pemalsuan dan lain sebagainya.

Landasan Teori
                Dalam satu konsiderans UU No. 8 Tahun 1999, isu hukum perlindungan konsumen merupakan suatu hal yang ada keterkaitannya dengan era globalisasi. Semakin terbukanya pasar nasional akibat globalisasi ekonomi harus tetap menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat serta kepastian mutu, jumlah, dan keamanan barang dan/atau jasa yang diperolehnya di pasar.
                Dalam era ekonomi global jarak antara produsen dan konsumen semakin biasa. Terlebih dalam era digital, produsen dapat menjual produknya ke berbagai Negara melalui electronic business, distance selling, direct selling, ecommerce, multi level marketing, dan online marketing tanpa menghadapi kendala perdagangan (trade barries) yang kompleks dari Negara pembeli. Dengan kemajuan informasi yang begitu cepat, berbagai perangkat yang sudah dituntut untuk secara terus-menerus menyesuaikan dengan dinamika dan perubahan zaman, termasuk masalah perlindungan konsumen yang dalam hukum nasional tertuang dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999.
Oleh karena itu, perlindungan konsumen dalam era pasar global menjadi sangat penting, karena konsumen disamping punya hak-hak yang bersifat universal juga mempunyai hak-hak yang bersifat sangat spesifik (baik situasi maupun kondisi). Era perdagangan bebas merupakan suatu era dimana pemasaran merupakan suatu disiplin universal.

Metode Penelitian
Metode penulisan review jurnal ini menggunakan metode Library Research, yang digunakan mengacu pada bahan-bahan yang membahas Hukum Perlindungan Konsumen dan Multi Level Marketing.


Pembahasan
a.    Pengertian Perlindungan Konsumen Menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1999
Ruang lingkup Perlindungan Konsumen sulit dibatasi hanya dengan menampungnya dalam satu jenis undang-undng, seperti Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen. Hukum Perlindungan Konsumen selalu berhubungan dan berinteraksi dengan berbagai bidang dan cabang hukum lain, karena pada tiap bidang dan cabang hukum senantiasa terdapa pihak yang berpredikat “konsumen”.
1.      Pengertian Kosumen
Dalam  peraturan perundang-undangan di Indonesia, istilah “konsumen” sebagai definisi yuridis formal ditemukan pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Pasal 1 Angka (2) UUPK menyatakan, konsumen adalah Setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang teredia dalam masyarakat, baik untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Istilah lain yang agak dekat dengan konsumen adalah Pembeli (koper). Istilah ini dapat dijumpai dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pakar masalah ekonomi di Belanda, Hondius menyimpulkan bahwa para ahli hukum pada umumnya sepakat mengartikan konsumen sebagai, pemakai produk terakhir dari benda dan/atau jasa. Dengan rumusan itu, Hondius membedakan antara konsumen bukan pemakai terakhir (konsumen antara) dan konsumen pemakai terakhir.
2.      Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen
Hukum Perlindungan Konsumen merupakan bagian dari Hukum Konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang bersifat mengatur dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen. Secara Universal, konsumen umumnya berada pada posisi yang lebih lemah dalam hubungannya dengan pengusaha, baik secara ekonomis, tingkat pendidikan, maupun kemampuan daya saing/daya tawar.
Adapun Hukum Konsumen diartikan sebagai “keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak yang satu dengan yang lain, berkaitan dengan barang dan/atau jasa konsumen didalam pergaulan hidup.

b.    Hak-Hak Serta Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha
1.      Hak-Hak dan Kewajiban Konsumen
Secara umum dikenal ada empat hak dasar, yaitu :
   o    Hak untuk mendapatkan Keamanan (The Right To Safety),
   o    Hak untuk mendapatkan Informasi (The Right to be Informed),
   o    Hak untuk Memilih (The Right to Choose),
   o    Hak untuk Didengar (The Right to be heard).
   o    Dalam perkembangannya, organisasi-organisasi konsumen yang tergabung dalam The International Organization of Consumers Union (IOCU) menambahkan lagi beberapa hak, antara lain:
   o    Hak Mendapatkan Pendidikan Konsumen,
   o    Hak Mendapatkan Ganti Rugi,
   o    Hak Mendapatkan Lingkungan Hidup yang Baik dan Sehat.
   o    Di pihak lain, konsumen juga dibebani dengan kewajiban atau tanggung jawab terhadap phak penjual  atau pelaku usaha, dimana kewajiban itu seperti:
   o    Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keselamatan,
   o    Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa,
   o    Membayar sesuai dengan nilai yang disepakati,
   o    Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut
2.      Hak-hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
Hak-hak Pelaku Usaha yang dimuat dalam Pasal 6 Undang-Undang Perlindungan Konsumen meliputi :
   o    Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai atas kesepakatan mengenai kondisi dan niai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan,
   o    Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik,
   o    Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen,
   o    Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan,
   o    Hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan lainnya.
   o    Sedangkan Kewajiban Pelaku Usaha terhadap Konsumen, Pemerintah dan Masyarakat yang dimuat dalam Pasal 7 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yaitu:
   o    Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usaha,
   o    Memberikan informasi yang jelas, benar, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan atas barang dan/atau jasa serta member penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan,
   o    Memperlakukan atau melayani konsumen dengan benar dan jujur serta tidak diskriminatif,
   o    Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku,
   o    Memberi kesempatan kepada konsumen untuk mencoba barang dan/atau jasa serta memberi garansi/jaminan atas barang dan/atau jasa yang diperdagangkan,
   o    Memberi kompensasi, gantirugi, dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian,

c.    Sistem Multi Level Marketing
Bisnis Multi Level Marketing (MLM) adalah bisnis dengan modal seadanya. Bisnis MLM hanya membutuhkan dana awal yang minimal sangat kecil. Untuk bergabung dengan usaha MLM pada umumnya modal awal yang harus dikeluarkan berupa Pembelian Formulir Pendaftaran berikut informasi awal, yang nilainya berkisar antara Rp 35.000,00 sampai dengan Rp 300.000,00.
System pemasaran MLM yang terus mendapatkan tempat dihati masyarakat ini, ternyata juga menarik hati perusahaan-perusahaan konvensional untuk berubah menjadi perusahaan yang memasarkan produknya melalui Sistem Multi Level Marketing. Bahkan, ada juga perusahaan yang menjalankan metode pemasarannya melalui system Multi Level Marketing yang berdasarkan prinsip Syariah.
Ø    Pengertian Multi Level Marketing
Multi Level Marketing adalah sebuah system pemasaran modern melalu jaringan distribusi yang dibangun secara permanen dengan memposisikan pelanggan perusahaan sekaligus sebagai tenaga pemasaran. Multi Level Marketing juga disebut sebagai Network Marketing, Multi Generation Marketing, dan Unit Level Marketing. Keunikan pertama dari system Multi Level Marketing adalah Ekslusivitas cara pendistribusiannya. Dimana hasil produksinya bisa dibeli melalui distributor independen tersebut dan tidak dibeli melalui toko, pasar swalayan, dan department store.


d.    Ruang Lingkup Multi Level Marketing
1.      Ciri-ciri Multi Level Marketing
   o    MLM merupakan salah satu bentuk Direct Selling atau Direct Marketing yang dibuat untuk memotong birokrasi maupun hambatan dari saluran distribusi konvensional,
   o    MLM merupakan Personal Selling dengan mengandalkan komunikasi mouth-to-ear-to-mouth-to-ear yang biasanya mempunyai kredibilitas tinggi,
   o    Produk yang dijual harus eksklusif dan dikembangkan melalui R & D yang kuat,
   o    MLM membentuk network yang merupakan komunikasi tersendiri dengan brand-royalti serta fanatisme yang tinggi,
   o    Penjual sama dengan pemakai,
   o    MLM sebenarnya lebih menekankan “recruitment business”,
   o    MLM berharap supaya pembeli menjadi life time customers yang ditawari macam-macam produk,
   o    Penjual memberi “individualized service” pada pembeli,
   o    Penjual berfungsi ganda, yaitu sebagai Distributor dan sebagai Promotor,
   o    Basis “target marketnya” adalah unit-unit keluarga yang entry pointnya kebanyakan adalah Ibu Rumah Tangga
2.      Produk yang Dipasarkan
MLM biasanya diterapkan pada produk-produk yang memiliki kualitas tinggi dan unik, artinya tidak mudah diperoleh di pasaran. Contoh : Obat-obatan, Perhiasan Khusus, Peralatan Rumah Tangga, Produk Fashion (pakaian jadi), tas, sepatu, dan lain-lain yang tidak bisa diperoleh disembarang tempat. Pemasaran produk MLM dipandang lebih efektif, karena produk yang dipasarkan oleh member (distributor), langsung sampai kepada konsumen, tanpa harus melewati jalur dstribusi yang panjang.
3.      Bersifat Universal
Bisnis Multi Level Marketing pada dasarnya bersifat universal. Sebab tidak ada criteria-kriteria khusus, seperti ijazah, pengalaman kerja, keterampilan khusus dan lain sebagainya. Siapa saja tidak mengenal status social dapat menggeluti bisnis ini, asalkan telah berusia 17tahun. Dalam dunia MLM, tidak memerlukan investasi atau modal yang besar untuk memulai usahanya, yang penting mempunyai semangat atau jiwa entrepreneurship tinggi, konsisten, focus, ulet, dan bekerja terus. Dan yang paling penting dari itu semua tidak takut gagal dan berani menghadapi resiko.

Resume
1.    Saat ini Undang-Undang yang berfungsi sebagai “umbrella uct” bagi konsumen hanyalah Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Khususnya di bidang Multi Level Marketing, masih dibutuhkan peraturan hukum yang memberikan perlindungakn terhadap konsumen.
2.    Perlindungan hukum kepada konsumen merupakan hal yang semakin penting disebabkan oleh factor-faktor, antara lain:
   o    Kedudukan konsumen yang relative lemah dibandingkan podusen,
   o    Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai motor penggerak produktivitas dan efisiensi produsen dalam menghasilkan barang dan/atau jasa,
   o    Perubahan konsep pemasaran yang mengarah pada pelanggan dalam konteks lingkungan eksternal yang lebih luas pada situasi ekonomi global,
   o    Perlindungan hukum terhadap konsumen diarahkan untuk mencapai tujuan:
   o    Menciptakan system perlindungan konsumen yang mengandung unsure keterbukaan akses dan     informasi serta menjamin kepastian hukum,
   o    Melindungi kepentingan konsumen pada khususnya dan seluruh pelaku dunia usaha,
   o    Meningkatkan kualitas barang dan pelayanan jasa,
   o    Memberikan perlindungan kepada konsumen dari pratek usaha yang menipu dan menyesatkan.

Referensi
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/12174/1/09E02091.pdf


Disusun Oleh :
•    Annisa Meidiyoana (20210919)
•    Dina Munawaroh (22210064)
•    Dini Triana (22210079)
•    Laraz Sekar Arum W. (23210968)
•    Nia Ismatu Ulfa (24210956)
Kelas  : 2EB05

Peran Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi

Review Jurnal    : Peran Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi
Pengarang        : Abdul Jali
Institusi              : Dosen Fakultas Hukum UNDIP Semarang
Sumber             : http://ebookdatabase.net/39-peran-an-hukum-dalam-pembangunan-ekonomi-283161387
Abstrak
Banyak faktor memainkan peran pengembangan bisnis. Diantaranya ekonomi, politik, menejemen serta hukum. Aspek hukum sangat penting dalam menentukan faktor pengembangan bisnis karena faktor hukum menentukan apa yang diperbolehkan dan tidak boleh dilakukan dalam kegiatan ekonomi. Penelitian ini mengadopsi perspektif sosiologis hukum. Ada dua unsur penting yang diusulkan. Diantaranya hubungan hukum ekonomi yang tertutup dan timbal balik.
I.    Pendahuluan
Berbicara mengenai lingkungan usaha , tentu banyak faktor-faktor yang  mempegaruhi, baik itu faktor ekonomi, faktor menejemen, faktor politik serta yang tidak kalah penting yaitu faktor aspek hukum. Aspek hukum merupakan unsur yang sangat penting dalam pengembangan usaha, karena apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan di dalam proses-proses ekonomi dalam masyarakat. Oleh karena itu tidak jarang para pengusaha menghadapi berbagai hambatan yang bersumber pada faktor hukum, baik karena tidak adaya peraturan ataupun peraturan-peraturan yang ridak sesuai.
Beberapa faktor yang  berpengaruh dalam pengembangan usaha (khususnya faktor hukum dan faktor ekonomi) mempunyai hubungan yang berkaitan satu sama lain. Sebagai gambaran, dalam kondisi ekonomi indonesia sekarang yang cenderung tidak stabil dan cenderung terus merosot pemerintahan kita mengharapkan sekali ivestor asing mau datang dan menanamkan investasinya di Indonesia. Tetapi lagi-lagi persoalan humum (jaminan keamanan dan kepastian hukum) menjadi penghambat keinginan tersebut.
Sementara itu lemahnya Law Enforcement mengakibatkan proses-proses sosial dalam masyarakat tidak dapat berjalan dengan baik. Kondisi seperti ini akan mengakibatkan iklim usaha menjadi tidak kondusif bagi pengembangan usaha dan ekonomi pada umumnya.
II.   Permasalahan
Dari uraidiatas nampak jelas bahwa faktor hukum mempunyai peranan penting dalam pengembangan usaha dan faktor ekonomi. Oleh karena itu di dalam makalah ini akan dibahas lebih lanjut mengenai kedua faktor tersebut.
Agar pembahasannya lebih jelas, maka permasalahan diformulasikan dalam pertanyaan sebagai berikut :
a.   Bagaimana hubungan hukum dengan ekonomi ?
b.   Bagaimana peranan hukum dalam Pembangunan Ekonomi ?
III.  Pembahasan
A.    Hubungan Antara Hukum dan Ekonomi
Ekonomi merupakan suatu wadah pengorganisasian masyarakat yang mempunyai tujuan memenuhi keutuhan masyarakat dan mensejahterakan masyarakat. Dalam rangka memenuhi kebutuhannya ini maka muncul kecenderungan bahwa setiap individuakan berusaha menapainya secara maksimal. Persoalan akan muncul apabila setiap individu memburu kebutuhannya sendiri dan mencapai kepuasan masing-masing secara maksimal. Maka pada tingakatn tertentu akan menimbulkan kekacauan. Kekacauan ini timbul karena adanya tabrakan-tabrkan kepentingan antara individu dengan individu lainnya. Dengan demikian adanya kebutuhan untuk menyusun pola interaksi antara sesama anggota masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Akhirnya muncullah masalah rules of game sebagai kebutuhan ekonomi, dengan kata lain adanya sistem peraturan.
Dengan demikian hubungan antara hukum dan ekonomi dapat dilihat bahwa disatu sisi hukum memberikan pengaruh mengendalikan/ mengarahkan terhadap kehidupan ekonomi, dengan cara meberikan kaidah-kaidah bagi perbuatan-perbuatan yang tergolong ke dalam perbuatan ekonomi, yaitu mengenai perbuatan pa yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam proses ekonomi dalam masyarakat (Satjipto Rahardjo, 1985:63).
Sebagai contoh adalah diundangkannya UU No. 5 tahun 1999 tentang larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. UU ini dikeluarkan dengan latar belakang terjadinya berbagai ketidak adilan dalam proses-proses ekonomi yang terjadi selama ini di masyarakat. Oleh karena itu praktik-praktik ekonomi yang merugikan ini harus dirubah dan diarahkan kepada proses-proses ekonomi yang lebih adil.
B.    Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi
Kemajuan yang dicapai dalam bidang ekonomi melalui pembangunan nasional selama ORBA memang sangat dimungkinkan, sebab pada waktu itu bidang tersebut menempati prioritas utama dalam strategi pembangunan jangka panjang 25 tahun pertama
Pada waktu itu berbagai kebijakan dan peraturan per-UU-an dirumuskan guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Namun dalam pelaksanaan selanjutnya, dengan memberikan tekanan pada usaha bagaimana meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan cepat, maka terjadilah kekeliruan karena pengembangan ekonomi seolah-olah tidak dijiawai aspek kemanusiaan.
Secara teoristis peran hukum dalam pembangunan ekonomi dapat dijelaskan secara garis besar , yaitu mengikuti model pembangunan ekonomi. Secara umum ada dua model dalam pembangunan ekonomi, yaitu :
1.    Model ekonomi berencana
2.    Model ekonomi pasar
Pada model ekonomi berencana, dimana model ini menekankan sifat pusfosit dan menyandarkan kekuatan pada hukum, maka pembangunan ekonomi dilihat sebagai suatu transformasi dari kegiatan ekonomi yang dilakukan secara sadar dan sengaja. Disini negara dianggap sebagai pendukung utama dalam menjalankan rencana yang sudah dibuat. Disini hukum digunakan untuk menterjemahkan tujuan pembangunan ke dalam bentuk norma-norma untuk diterapkan.
Sedangkan pada model ekonomi pasar, poses ekonomi tidak digerakkan dari pusat kekuasaan teteapi diserahkan pada mekanisme pasar, seperti mekanisme permintaan dan penawaran.
IV.  Kesimpulan
Dari seluruh uraian diatas beberapa poin yang dapat dikemukakan disini sebagai kesimpulan atau penutup adalah sebagai berikut :
a.   Hubungan antara hukum dan ekonomi sangat erat dan bersifat timbal balik. Hukum mempengaruhi perkembangan ekonomi, sebaliknya ekonomi juga mempengaruhi berlakunya hukum. Hukum memberikan pengaruh perkembangan ekonomi dengan cara memberikan kaidah mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam proses-proses ekonomi masyarakat.
b.   Peranan hukum dalam pembangunan ekonomi sangat strategis, dan peranan ini tergantung pada model pembangunan ekonomi yang dianut oleh suatu negara. Secara garis besar dikenal dua model pembangunan ekonomi yaitu pembangunan ekonomi berenana dan ekonomi pasar.
Referensi
http://ebookdatabase.net/39-peran-an-hukum-dalam-pembangunan-ekonomi-283161387
Disusun Oleh :
•    Annisa Meidiyoana (20210919)
•    Dina Munawaroh (22210064)
•    Dini Triana (22210079)
•    Laraz Sekar Arum W. (23210968)
•    Nia Ismatu Ulfa (24210956)
Kelas  : 2EB05