Review jurnal : Prospek Arbitrase Online Sebagai Upaya Penyelesaian Sengketa Di Luarnegeri Pengadilan Ditinjau Dari Hukum Bisnis
Pengarang : Solikhah, SH
Institusi : Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro
Sumber : http://eprints.undip.ac.id/18258/1/SOLIKHAH.pdf
ABSTRAK
Perkembangan dunia bisnis yang semakin pesat di satu sisi memberikan dampak positif yaitu memperoleh devisa namun di sisi lain dapat menimbulkan sengketa akibat wanprestasi
oleh salah satu pihak. Sehingga, diperlukan alternatif penyelesaian sengketa yang efektif untuk menangani aktivitas online. Tujuan penelitian ini untuk mengkaji permasalahan bagaimanakah pengaturan arbitrase online sebagai alternatif penyelesaian sengketa di dalam sistem hukum Indonesia, pengaturan arbitrase online sebagai alternatif penyelesaian sengketa dapat diterapkan di Indonesia mengingat dalam Undang – undang Nomor 30 Tahun 1999 tidak diatur secara tegas mengenai arbitrase online, kelebihan, kekurangan dan hambatan prosedur acara arbitrase online apabila diterapkan di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis empiris. Spesifikasi penelitian adalah penelitian deskriptif analitis, yakni penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan gambaran tentang hasil penelitian disertai dengan analisa mengenai peraturan perundang–undangan yang berlaku dihubungkan dengan teori–teori hukum dan prospek arbitrase online sebagai upaya penyelesaian sengketa dari segi hukum bisnis. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah studi dokumen, kuesioner kepada BANI dan interview kepada pengacara yang menangani arbitrase.Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa Arbitrase Online Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa tidak diatur secara tegas di dalam sistem hukum Indonesia. Pengaturan arbitrase online secara eksplisit sebagai alternatif penyelesaian sengketa dapat diterapkan di Indonesia karena telah sesuai dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 dan Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008. Arbitrase online mempunyai beberapa kelebihan antara lain : waktu dan mekanisme arbitrase online cepat, murah dan sederhana, Kekurangan prosedur acara arbitrase online apabila diterapkan di Indonesia adalah tidak adanya seperangkat kelengkapan dan prosedural serta akses internet yang memadai. Arbitrase online memiliki prospek yang baik untuk menyelesaikan sengketa aktivitas online dilihat dari faktor hukum, potensi, teknologi, bisnis dan sosial. Akan tetapi untuk menerapkan arbitrase online mengalami hambatan yang meliputi : faktor peraturan, keamanan, infrastruktur, budaya, kebiasaan dan institusi. Cara mengatasi hambatan tersebut dengan disusunnya undang – undang baru mengatur arbitrase online dilengkapi dengan infrastruktur telekomunikasi,sistem keamanan dan lembaga arbitrase online.
Kata Kunci : Prospek Arbitrase Online, Penyelesaian Sengketa, bisnis
I. Pendahuluan
Pada umumnya di bagian akhir suatu perjanjian dicantumkan suatu klausula yang dapat menentukan penyelesaian sengketa. Klausula itu, misalnya, “apanila terjadi perselisihan atau sengketa sebagai akibat dari perjanjian tersebut maka para pihak akan memilih penyelesaian sengketa yang terbaik bagi mereka”.
Namun snegketa itu terjadi dimulai dari suatu situasi di mana satu pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain. Perasaan tidak puas akan segera muncul ke permukaan apabila terjadi conflict of interest.
Sementara itu pihak yang merasa dirugikan akan menyampaikan ketidakpuasannya kepada pihak kedua, apabila pihak kedua dapat menanggapi dan memberi perasaan puas kepada pihak pertama maka selesailah konflik tersebut, sebaliknya jika reaksi pihak kedua menunjukkan perbedaan pendapat atau memiliki nilai-nilai yang berbeda maka akan terjadi perselisihan, sehingga dinamakan sengketa.
Pada umumnya di dalam kehidupan suatu masyarakat telah mempunyai cara untuk mnyelesaikan konflik atau sengketa sendiri, yakni proses penyelesaian sengketa yang ditempuh dapat melalui cara-cara formal maupun informal.
Penyelesaian sengketa secara formal berkembang menjadi proses adjudikasi yang terdiri atas proses melalui pengadilan (litigasi) dan arbitase (perwasiatan), serta proses pnyelesaian-penyelesaian konflik secara informal yangberbasis pada kesepakatan pihak-pihak yang bersengketa melalui negosiasi, mediasi.
II. Permasalahan
1. CARA – CARA PENYELASAIAN SENGKETA
Di dalam penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan berbagai bentuk, antara lain :
a. Negosiasi ( Negotiation )
Proses tawar-menawar denganjalan berunding guna mencapai kesepakatan bersama antara satu pihak ( kelompok atau organisasi ) dan pihak ( kelompok atau organisasi ) lain. Negosiasi juga diartikan suatu cara penyelesaian sengketa secara damai melalui perundingan antara pihak yang berperkara.Dalam hal ini negosiasi merupakan komunikasi dua rah yang dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat kedua belah pihak Memiliki berbagai kepentingan yang sama maupun yang berbeda. Oleh karena itu, negosiasi merupakan sarana bagi pihak-pihak yang bersengketa untuk mendiskusikan penyelesaiaannya tanpa melibatkan pihak ketiga sebagai penengah, baik yang tidak berwenang mengambil keputusan maupun yang berwenang mengambil keputusan.
b. Mediasi
Mediasi adalah proses pengikutserataan pihak ketiga dalam penyelesaiaan suatu perselisihan sebagai penasihat. Juga, terdapat beberapa definisi mengenai mediasi menurut Nolah Haley yaitu : dalam hal ini dapat ditarik kesimpulan bahwa mediasi merupakan salah satu bentuk negosiasi antara para pihak yang bersengketa dan melibatkan pihak ketiga dengan tujuan membantu demi tercapainya penyelesaian yang bersifat kompromistis.
Kemudian pihak ketiga yang ditunjuk membantu menyelesaikan sengketa dinamakan sebagai mediator. Oleh karena itu pengertian mediasi mengandung unsur-unsur antara lain :
1. merupaka sebuah proses penyelesaiaan sengketa berdasarkan perundingan
2. mediator terlibat dan diterima oleh para pihak yang bersengketa di dalam perundingan
3. mediator bertugas membantu para pihak yang bersengketa untuk mencari penyelesaiaan
4. tujuan mediasi untuk mencapai atau menghasilkan kesepakatan yang dapat diterima pihak-pihak yang bersengketa guna mengakhiri sengketa.
Dengan demikkan,putusan yang diambil atau yang dicapai oleh mediasi merupakan putusan yang disepakati bersama oleh para pihak yang dapat berbentuk nilai-nilai atau norma-norma yang menjadi tatanan dalam masyarakat. Selain itu, dapat pula berbentuk putusan yang tidak sejalan dengan tatanan yang ada, teteapi tidak bertentangan dengan nilai atau norma yang berlaku. Namur, putuasan tersebut dapat bertolak belakang dengan nilai atau norma yang berlaku.
c. Konsiliasi
Konsiliasi hádala usaha mempertemukan keinginan pihak yang berselisih untuk mencapai persetujuan dan penyelesaiaan.Namun, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tidak memberikan statu rumusan yang eksplisit atas pengertian dari konsiliasi. Akan teteapi, rumusan itu dapat ditemukan dalam pasal ¡ angka 10 dan alinea 9 Penjelasan Umum , yakni konsiliasi merupakan salah satu lembaga alternatif dalam penyelesaian sengketa.
Dengan demikia, konsiliasi merupakan proses penyelesaian sengketa alternatif dan melibatkan pihak ketiga yang diikutsertakan untuk menyelesaikan sengketa.Konsiliator dalam proses konsiliasi harus memiliki peran yang cukup berarti. Oleh karena itu, konsiliator berkewajiabn untuk menyampaikan pendapat-pendapatnya mengenai duduk persoalannya.Dalam menyelesaikan perselisihan, konsiliator memiliki hak dan kewenangan untuk menyampaikan pendapat secara terbuka dan tidak memihak lepada yang bersengketa. Selain itu, konsiliator tidak berhak untuk membuat putusan dalam sengketa untuk dan atas nama para pihak sehingga keputusan akhir merupakan proses konsiliasi yang diambil sepenuhnya oleh para pihak dalam snegketa yang dituangkan dalam bentuk kesepakatan si antara mereka.
d. Arbitrase
Arbitrase ádalah usaha perantara dalam melarikan sengketa.Penyelesaian sengketa melaluilembaga arbitrase lebih disukai oleh pelaku ekonomi dalam kontrak bisnis yang bersifat nasional maupun internacional dikarenakan sifat kerahasiaannya, prosedur sederhana, putusan arbiter mengikat para pihak, dan disebabkan putusan yang diberikan bersifat final.Arbitase hádala sebagai upaya hukum dalam perkembangan dunia usaha, baik nasional maupun internacional. Pemerintah telah mengadakan pembaharuaan terhadap undang-undang arbitrase nasional dengan dikeluarkan Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatisf Penyelesaiaan Sengketa , dengan demikian berdasarkan undang-undang tersebut, Arbitrase merupakan cara penyelesaiaan statu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Perjanjian arbitrase merupakan kesepakatan berupa cláusula arbitrase yang tercantum dalam statu perjanjian tertulis yang dibuat oleh para pihak sebelum timbal sengketa atau statu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbal sengketa.
Sementara itu, sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Statu perjanjian arbitrase tidak menjafi batal walaupun disebabkan oleh statu keadaan, seperti dibawah ini :
1. meninggalnya statu pihak
2. bangkrutnya salah satu pihak
3. novasi ( pembaharuan utang )
4. pewarisan
5. berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok
Terdapat dua jenis arbitrase yakni :
1. Arbitrase ad hoc atau arbitrase volunter
Merupakan arbitrase yang dibentuk secra khusus untuk menyelesaikan atau memutuskan perselisihan tertentu. Oleh karena itu arbitrase ini bersifat “insidentil”, dimana kedudukan dan keberadaannya hanya untuk melayani memutuskan kasus perselisihan tertentu maka apabila telah menyelesaikan sengketa dengan diputuskan perkara tersebut, keberadaan da fungís arbitrase ini lenyap berakhir dengan sendirinya.
2. Arbitrase Institucional
Merupakan statu lembaga atau badan arbitrase yang bersifat “hermanen”, sehingga arbitrase institucional tetap berdiri untuk selamanya dan tidak bubar, meskipun perselisihan yang ditangani telah Selebi diputus.
Sementara itu di Indonesia terdapat dua lembaga arbitrase yang memberikan jasa arbitrase, yakni badan arbitrase nasional indonesia ( BANI ) dan Badan arbitrase muamalat Indonesia ( BAMUI ).Pelaksanaan putusan arbitrase nasional dilakukan dalam waktu paling lama 30 hari terhitung Sejak tanggal putusan ditetapkan. Lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanyakepada pantera pengadilan negeri dan oleh pantera diberikan catatan yang merupakan akta pendaftaran.Dengan demikian , putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum dan mengikat para pihak. Keputusan arbirase bersifat final, berarti putusan arbitrase merupakan keputusan final dan karenanya tidak dapat diajukan Bandung, kasasi, atau memberikan perintah.Putusan arbitrase dibubuhi perintah oleh ketua pengadilan negeri untuk dilaksanakan sesuai ketentuan pelaksanaan putusan dalam perkara perdata yang keputusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetep.suatu putusan arbitrase terhadap para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan. Dengan demikian,permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30 hari terhitung Sejas hari pernyataan dan pendaftaram putusan arbitrase lepada pantera pengadilan negeri dimana permohonan tersebut diajukan lepada ketua pengadilan negeri.Terhadap putusan pengadilan negeri dapat diajukan permohonan Bandung ke mahkamah agung yang memutuskan dalam tingkat pertama dan terakhir.Mahkamah agung mempertimbangkan serta memutuskan permohonan Bandung dalam waktu paling lama 30 hari setelah permohonan Bandung tersebut diterima oleh mahkamah agung.
e. Peradilan
Dalam hal ini terjadi statu pelanggaran hukum, baik berupa hak seseorang maupun kepentingan umum maka tidak boleh begitu sja terhadap si pelanggar iti diambil statu tindakan untuk menghakiminya oleh sembarang orang. Perbuatan “menghakimi sendiri” sangatlah tercela, tidak tertib, dan harus dicegah.tidak hanya dengan duatu pencegahan, tetapi diperlukan perlindungan dan penyelesaiaan. Oleh karena itu, yang berhak memberikan perlindungan dan penyelesaiaan hádala negara. Untuk itu, negara menyerahkan lepada kekuasaan kehakima yang berbentuk badan peradilan dengan para pelaksananya yaitu hakim.
Dalam menegakkan hukum. Hakim melaksanakan hukum yang berlaku dukungan rasa keadilan yang ada padanya berdasarkan hukum yang berlaku, meliputi yang tertulis dan tidak tertulis. Oleh karena itu, disebutkan bahwa hakim atau pengadilan hádala penegak hukum.
IV. Kesimpulan
Pada penjelasan yang sudah ada saya dapat mengambil kesimpulan yaitu dalam penyelesaian Sengketa dalam Ekonomi dapat dilakukan dengan beberapa cara diantarnya melalui :
Negosiasi adalah Suatu bentuk pertemuan antara dua pihak: pihak kita dan pihak lawan dimana kedua belah pihak bersama-sama mencari hasil yang baik, demi kepentingan kedua pihak.
Mediasi adalah Pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian
Arbitrase adalahKekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu perkara menurut kebijaksanaan.
Perbedaan ketiga terletak dari peran mereka dalam menyelesaikan suatu pertikain yang ada. Negosiasi tidak menggunakan pihak ketiga untuk menyelesaikan suatu pertikaian, Arbitrase diantara kedua pihak yang bertikai memerlukan pihak ketiga untuk menyelesaikan permasalahan mereka tetapi peran pihak ketiga ini hanya sebagai pemberi saran dan tidak mempunyai kekuatan untuk memutuskan suatu pertikaian tersebut. Sedangkan Arbitrase ialah Pihak ketiga yang dibutuhkan antara kedua pihak yang bertikai dan mempunyai kekuatan hukum yang kuat untuk memutuskan suatu permasalahan yang ada karena mereka tidak dapat menyelesaikan perikaian terseb
Referensi
http://eprints.undip.ac.id/18258/1/SOLIKHAH.pdf
Disusun Oleh :
• Annisa Meidiyoana (20210919)
• Dina Munawaroh (22210064)
• Dini Triana (22210079)
• Laraz Sekar Arum W. (23210968)
• Nia Ismatu Ulfa (24210956)
Kelas : 2EB05
Selasa, 08 Mei 2012
PEMERINTAH SEBAGAI SUBJEK HUKUM PERDATA DALAM KONTRAK PENGADAAN BARANG ATAU JASA
Review jurnal : PEMERINTAH
SEBAGAI SUBJEK HUKUM PERDATA DALAM KONTRAK
PENGADAAN
BARANG ATAU JASA
Pengarang : Sarah S. Kuahaty
ABSTRACT
Dalam
pembagiannya subjek hukum Perdata terdiri atas manusia
(naturlijkperson) dan badan hukum (rechtperson). Tetapi dalam
perkembangannya, ternyata pemerintah yang adalah lembaga publik dapat
juga melakukan tindakan hukum perdata, hal ini dapt dibuktikan dengan
terlibatnya pemerintah sebagai salah satu pihak dalam kontrak
pengadaan barang atau jasa. Berdasarkan hasil penelusuran ternyata
bahwa, ketika pemerintah bertindak dalam lapangan keperdataan dan
tunduk pada peraturan hukum perdata, maka pemerintah bertindak
sebagai wakil dari badan hukum bukan wakil dari jabatan, sehingga
tindakan pemerintah tersebut adalah tindakan badan hukum.
Keyword:
pemerintah, subjek hukum.
A.
LATAR BELAKANG
Hukum
dalam klasifikasinya terbagi atas hukum publik dan hukum privat.
Hukum publik yaitu hukum yang mengatur hubungan antara negara dengan
alat-alat perlengkapan negara atau negara dengan warga negara. Hukum
privat yaitu hukum yang mengatur hubungan antara satu orang dengan
orang lain atau subjek hukum lain dengan menitikberatkan pada
kepentingan perseorangan. Berdasarkan pengertiannya, maka subjek
hukum perdata terdiri atas orang dan badan hukum.
Tidak
dapat di pungkiri bahwa pemerintah dalam kegiatan sehari-hari
melakukan tindakan-tindakan bisnis dengan pihak non-pemerintah.
Pemerintah misalnya perlu membeli barang atau jasa (government
procurement)
dalam rangka menjalankan fungsinya sehari-hari.
Dalam
memenuhi kebutuhannya tersebut, tentunya pemerintah harus mengikuti
prosedur pengadaan sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Presiden
Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah adalah kegiatan untuk memperoleh
Barang/Jasa oleh Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat
Daerah/Institusi lainnya yang prosesnya dimulai dari perencanaan
kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh
Barang/Jasa.
Oleh
karenanya agar prosedur pengadaan tersebut mempunyai kekuatan hukum
yang tetap dan mengikat bagi para pihak yang terlibat di dalamnya,
maka hubungan hukum yang tercipta haruslah dibingkai dengan hukum
yang dikenal dengan kontrak.
Secara
sederhana kontrak dapat digambarkan sebagai suatu perjanjian antara
dua atau lebih pihak yang mempunyai nilai komersial tertentu.
Sebagaimana layaknya sebuah perjanjian, dalam sebuah kontrak para
pihak yang mengikatkan diri adalah subjek hukum. Adapun yang dimaksud
dengan subjek hukum disini adalah subjek hukum perdata.
Apabila
telah di pahami bahwa yang dimaksud para pihak dalam kontrak adalah
subjek hukum perdata, maka timbul pertanyaan apakah mungkin
pemerintah yang tidak biasanya di persepsikan sebagai subjek hukum
perdata tetapi subjek hukum publik dapat menjadi salah satu pihak
dalam sebuah kontrak pengadaan barang atau jasa?
B.
PEMBAHASAN
1.
Subjek Hukum perdata
Manusia
adalah pendukung hak dan kewajiban. Lazimnya dalam hukum di kenal
dengan istilah subjek hukum. Tetapi manusia bukanlah satu-satunya
subjek hukum. Karena masih ada subjek hukum lainnya yaitu segala
sesuatu yang menurut hukum dapat mempunyai hak dan kewajiban,
termasuk apa yang di sebut badan hukum.2 Istilah subjek Hukum berasal
dari terjemahan rechsubject
(Belanda)
atau law
of subject (Inggris).
Subjek
Hukum mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat penting di dalam
bidang hukum, khususnya hukum keperdataan, karena subjek hukum itulah
nantinya yang dapat mempunyai wewenang hukum (rechtsbevoegheid).
Didalam
berbagai literatur di kenal 2 (dua) macam subjek hukum yaitu manusia
(naturlijkperson)
dan
badan hukum (rechtperson).
Pada
Dasarnya manusia mempunyai hak sejak di lahirkan, namun tidak semua
manusia mempunyai kewenangan dan kecakapan untuk melakukan perbuatan
hukum. Selain naturlijkperson
sebagai
subjek hukum, maka subjek hukum lainnya adalah badan hukum
rechtperson.
Dalam
pengaturannya tidak ada satu pasal pun yang memberikan pengertian
badan hukum. Pengertian badan hukum hanya dapat di lihat dalam
doktrin ilmu hukum, salah satunya menurut Rochmat
Soemitro rechtperson
adalah
suatu badan yang dapat mempunyai harta kekayaan, hak serta kewajiban
seperti orang pribadi.
2.
Kedudukan Pemerintah
Dalam
perspektif hukum publik negara adalah organisasi jabatan. Di antara
jabatan-jabatan kenegaraan ini terdapat jabatan pemerintahan, yang
menjadi objek hukum administrasi negara.
Meskipun
jabatan pemerintahan ini dilekati dengan hak dan kewajiban atau
diberi wewenang untuk melakukan tindakan hukum, namun jabatan tidak
dapat bertindak sendiri. Jabatan dapat melakukan perbuatan hukum,
yang dilakukan melalui perwakilan yaitu pejabat.
Antara
jabatan dengan pejabat memiliki hubungan yang erat, namun di antara
keduanya sebenarnya memiliki kedudukan hukum yang berbeda atau
terpisah dan diatur dengan hukum yang berbeda. Jabatan diatur oleh
hukum tata negara dan hukum administrasi, sedangkan pejabat diatur
dan tunduk pada hukum kepegawaian. Dengan demikian, kedudukan hukum
pemerintah berdasarkan hukum publik adalah wakil dari jabatan
pemerintahan.
3.
Pemerintah Sebagai Subjek Hukum Perdata Dalam Kontrak Pengadaan
Barang Atau Jasa
Dalam
pengadaan barang barang atau jasa, pemerintah akan membingkai
hubungan hukum dengan penyedia barang atau jasanya dalam sebuah
kontrak pengadaan barang atau kontrak pengadaan jasa. Dalam konteks
demikian pemerintah tidak dapat memposisikan dirinya lebih tinggi
dari penyedia barang atau jasanya, hal ini dikarenakan dalam hukum
perjanjian para pihak mempunyai kedudukan yang sama, sebagaimana
tercermin dalam pasal 1338 BW.
Keterlibatan
pemerintah dalam suatu hubungan kontraktual ini berbeda dengan
kontrak komersial pada umumnya, karena karakteristik dari kontrak ini
tidak murni lagi merupakan tindakan hukum privat tetapi juga sudah
ada campuran hukum publik di dalamnya. Keterlibatan pemerintah dalam
kontrak ini menunjukan tindakan pemerintah tersebut diklasifikasikan
dalam tindakan pemerintahan yang bersifat keperdataan.
Pemerintah
sebagai salah satu subjek hukum dalam tindakan perdata, maka
pemerintah merupakan badan hukum, karena menurut Apeldoorn
negara,
propinsi, kotapraja dan lain sebaginya adalah badan hukum.
Kedudukan
pemerintah dalam pergaulan hukum keperdataan tidak berbeda dengan
subjek hukum privat lainnya yakni orang maupun badan hukum, Sebagai
subjek hukum perdata pemerintah dapat mengikatkan dirinya dengan
pihak ketiga dalam hal ini penyedia barang atau jasa.
Kedudukan
Pemerintah dalam kontrak juga tidak memiliki kedudukan yang istimewa,
dan dapat menjadi pihak dalam sengketa keperdataan dengan kedudukan
yang sama dengan seseorang atau badan hukum perdata dalam peradilan
umum.
Kesimpulan
Subjek
Hukum mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat penting di dalam
bidang hukum, khususnya hukum keperdataan, karena subjek hukum itulah
nantinya yang dapat mempunyai wewenang hukum (rechtsbevoegheid)
untuk
melakukan perbuatan hukum.
Negara
dalam perspektif hukum perdata adalah sebagai badan hukum publik.
Bila berdasarkan hukum publik negara adalah organisasi jabatan atau
kumpulan dari organ-organ kenegaraan, yang di dalamnya terdapat organ
pemerintahan, maka berdasarkan hukum perdata, negara adalah kumpulan
dari badan-badan hukum, yang di dalamnya terdapat badan pemerintahan.
Ketika
pemerintah bertindak dalam lapangan keperdataan dan tunduk pada
peraturan hukum perdata, pemerintah bertindak sebagai wakil dari
badan hukum, bukan wakil dari jabatan.
Disusun Oleh :
- Annisa Meidiyoana (20210919)
- Dina Munawaroh (22210064)
- Dini Triana (22210079)
- Laraz Sekar Arum W (23210968)
- Nia Ismatu Ulfa (24210956)
Kelas : 2EB05
Minggu, 06 Mei 2012
Review Jurnal Wajib Daftar Perusahaan
Review Jurnal : Wajib Daftar Perusahaan Sebelum dan Sesudah Berlakunya UU no. 40 Tahun
2007 Tentang Perseroan Terbatas
Pengarang : Wahyuni Safitri,
S.H., M.Hum
Institusi : Dosen Fakultas Hukum Universitas
Gama Mahakam Samarinda
Abstrak
Wajib Daftar
Perusahan sebagaimana yang terdapat didalam Undang-Undang No.3 tahun 1982
tentang Wajib Daftar Perusahaan sangat bermanfaat baik
dari segi Pemerintah, Dunia Usaha maupun pihak lain yang berkepentingan adapun
tujuan dilakukannya daftar perseroan adalah untuk mencatat bahan-bahan
keterangan yang dibuat secara benar dan resmi untuk semua pihak yang
berkepentingan dalam rangka menjamin kepastian berusaha. Dengan demikian daftar
perusahaan dapat menjadi alat pembuktian yang sempurna bagi perusahaan yang
berkedudukan dan menjalankan usahanya di wilayah Negara Indonesia
I.
Pendahuluan
Dengan melihat dasar pertimbangan dan Undang-undang Wajib
Daftar Perusahaan(UUWDP), daftar perusahaan merupakan daftar catatan resmi yang
dapat dipergunakan oleh pihak-pihak yang memerlukan. Ada 3 (tiga) pihak yang
memperoleh manfaat dari daftar perusahaan tersebut yaitu:
a.
Pemerintah
Dalam rangka memberikan bimbingan, pembinaan dan pengawasan termasuk untuk
kepentingan pengamanan pendapatan Negara yang memerlukan informasi yg
akurat.
b. Dunia usaha
Mempergunakan daftar perusahaan sebagai sumber informasi untuk
kepentingan usahanya. Selain itu juga dalam upaya mencegah praktek usaha yg tidak jujur.
c. Pihak lain yang berkepentingan atau masyarakat
yang memerlukan informasi yang benar. (I.G. Rai Widjaja, 2006 : 270)
Mengingat manfaat tersebut di atas maka tujuan daftar
perusahaan seperti terdapat pada pasal 2 UUWDP adalah untuk mencatat
bahan-bahan keterangan yang dibuat secara benar dari suatu perusahaan dan
merupakan sumber informasi resmi untuk semua pihak yang berkepentingan
mengenai identitas, data serta keterangan lainnya tentang perusahaan yang
tercantum dalam Daftar Perusahaan dalam rangka menjamin kepastian berusaha,
seperti yang terdapat dalam pasal 3 UUWDP yaitu daftar perusahaan bersifat
terbuka untuk semua pihak dan pasal 4 nya setiap pihak yang berkepentingan
setelah memenuhi biaya administrasi yang ditetapkan oleh menteri, berhak
memperoleh keterangan yang diperlukan dengan cara mendapatkan salinan atau
petikan resmi dari keterangan yang tercantum dalam daftar perusahaan.Setiap
salinan atau petikan yang diberikan berdasarkan ketentuan ayat (1) pasal ini
merupakan alat pembuktian yang sempurna.
Dalam pasal 29 UU PT No 40 tahun 2007 dinyatakan bahwa
pendaftaran perusahaan diselenggarakan oleh Menteri dalam hal ini Menkumham,
sedangkan dalam ketentuan UUWDP pendaftaran perusahaan diselenggarakan oleh Departemen
Perdagangan. Dalam hal ini penulis akan menjelaskan dengan dilepaskannya
kewajiban pendaftaran dalam UUPT ini dan kewajiban pendaftaran, menurut UUWDP
bukan berarti UUWDP tidak berlaku tetapi tetap berlaku tapi bukan lagi
merupakan syarat sebelum dapat dilakukannya pengumuman perseroan terbatas di
Berita Negara dan penulis juga ingin menjelaskan bagaimana pelaksanaan UUWDP
sebelum dan sesudah berlakunya UUPT No. 40 tahun 2007
II.
Pembahasan
A.
DASAR HUKUM WAJIB DAFTAR
PERUSAHAAN
Pertama kali diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) pasal
23 : Para persero firma diwajibkan mendaftarkan akta itu dalam register yang
disediakan untuk itu pada kepaniteraan raad van justitie (pengadilan Negeri)
daerah hukum tempat kedudukan perseroan itu. Selanjutnya pasal 38
KUHD : Para persero diwajibkan untuk mendaftarkan akta itu dalam keseluruhannya
beserta ijin yang diperolehnya dalam register yang diadakan untuk itu pada panitera raad
van justitie dari daerah hukum kedudukan perseroan itu, dan mengumumkannya
dalam surat kabar resmi.
Dari kedua pasal di atas firma dan perseroan terbatas diwajibkan
mendaftarkanakta pendiriannya pada pengadilan negeri tempat kedudukan perseroan
itu berada, selanjutnya pada tahun 1982 wajib daftar perusahaan diatur dalam
ketentuan tersendiri yaitu UUWDP yang tentunya sebagai ketentuan khusus
menyampingkan ketentuan KUHD sebagai ketentuan umum. Dalam pasal 5 ayat 1 UUWDP
diatur bahwa setiap perusahaan wajib didaftarkan dalam Daftar Perusahaan di
kantor pendaftaran perusahaan.
Pada tahun 1995 ketentuan tentang PT dalam KUHD diganti dengan UU
No.1 Tahun 1995, dengan adanya undang-undang tersebut maka hal-hal yang
berkenaan dengan PT seperti yang diatur dalam pasal 36 sampai dengan pasal 56
KUHD beserta perubahannya dengan Undang-Undang No. 4 tahun 1971 dinyatakan
tidak berlaku.
Sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan UUWDP pada tahun 1998 diterbitkanKeputusan
Menperindag No.12/MPP/Kep/1998 yang kemudian diubah dengan Keputusan Menperindag No.327/MPP/Kep/7/1999 tentang
penyelenggaraan Wajib Daftar Perusahaan serta Peraturan Menteri Perdagangan No.
37/M-DAG/PER/9/2007 tentang Penyelenggaraan Wajib Daftar Perusahaan. Keputusan
ini dikeluarkan berdasarkan pertimbangan bahwa perlu diadakan penyempurnaan
guna kelancaran dan peningkatan kualitas pelayanan pendaftaran perusahaan,
pemberian informasi, promosi, kegunaan pendaftaran perusahaan bagi dunia usaha
dan masyarakat, meningkatkan peran daftar perusahaan serta menunjuk
penyelenggara dan pelaksana WDP. (I.G.Rai Widjaja, 2006: 273)
Jadi dasar penyelenggaraan WDP sebelum dan sewaktu berlakunya UUPT yang
lama baik untuk perusahaan yang berbentuk PT, Firma, persekutuan komanditer,
Koperasi, perorangan ataupun bentuk perusahaan lainnya diatur dalam UUWDP dan
keputusan menteri yang berkompeten.
B. WAJIB DAFTAR PERUSAHAAN SETELAH ADANYA UU No. 40 TAHUN
2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS
Setelah resmi berlakunya Undang-Undang No.40 tahun 2007 tentang perseroan
terbatas pada tanggal 16 Agustus 2007 yang merupakan pengganti Undang-Undang
No. 1 tahun 1995 dalam Pasal 157 ayat 2 disebutkan bahwa Anggaran
dasar dan perseroan yang belum memperoleh status badan hukum atau anggaran
dasar yang perubahannya belum disetujui atau dilaporkan kepada Menteri pada
saat Undang-Undang ini mulai berlaku, wajib disesuaikan dengan UUPT yang baru.
Permasalahan selanjutnya adalah penyesuaian yang bagaimana yang harus dilakukan
dalam hal memperoleh status badan hukum atau persetujuan atau pelaporan
perubahan anggaran dasar. Salah satu ketentuan baru dalam UUPT barn adalah pengajuan permohonan
pendirian PT dan penyampaian perubahan anggaran dasar secara online dengan
mengisi daftar isian yang dilengkapi dokumen pendukung melalui sistem yang
dikenal yaitu Sistem Administrasi BadanHukum (SABH)..
SABH berada dibawah kewenangan Departemen Hukum dan HAM melalui Direktorat
Jenderal Administrasi Hukum Umum maka untuk pendaftaran perusahaan yang
merupakan satu kesatuan dalam proses SABH juga merupakan kewenangan Departemen
Hukum dan HAM, sebagaimana dalam ketentuan Pasal 29 UUPT yang baru. Ketentuan
pasal 29 tersebut jelas berbeda dengan pasal 21 ayat 1 UUPT lama
beserta penjelasannya bahwa pendaftaran perusahaan mengacu pada UUWDP. Perbedaan
antara ketentuan pasal 29 UUPT baru dengan pasal 21 ayat 1 UUPT lama
terletak pada pihak yang berwenang untuk melakukan pendaftaraan perusahaan.
Menurut UUPT baru pihak yang berwenang adalah Departemen Hukum dan HAM melalui direktorat
Jemdral Administrasi Hukum Umum sedangkan dalam UUPT lama yang
mengacu pada UUWDP pihak yang berwenang dalam hal ini Departemen Perdagangan
melalui Direktorat pendaftaran perusahaan pada direktorat jendral perdagangan
dalam negeri yang bertindak selaku Kantor Pendaftaran Perusahaan(KPP) di
tingkat pusat dan kantor wilayah departemen perdagangan di tingkat I dan
tingkat II. dengan perbedaan ini timbul pertanyaan apakah dengan adanya
ketentuan pasal 29 UUPT baru tersebut maka pendaftaran perusahaan sebagaimana
diatur dalam UUWDP tidak berlaku bagi Perseroan Terbatas?
Berdasarkan hal di atas, bahwa antara kedua undang-undang tersebut terdapat
kontradiktif normatif sehingga menimbulkan masalah, dalam kedua undang-undang
tersebut terdapat pengaturan yang tidak sama dimana dalam UUWDP diatur mengenai
sanksi dengan ancaman melakukan suatu tindak pidana kejahatan atau pelanggaran
apabila tidak mengikuti ketentuan UUWDP sedangkan dalam UUPT baru tidak diatur tentang adanya sanksi sehingga apabila
data perseroan telah masuk dalam daftar perseroan sesuai dengan ketentuan pasal
29 ayat 3 UUPT baru, apakah masih diperlukan pendaftaran sesuai dengan
ketentuan UUWDP mengingat adanya ketentuan sanksi tersebut?
Beranjak dari permasalahan-permasalahan tersebut diatas perlu dilakukannya
penafsiran hukum. Hal ini dikarenakan undang-undang adalah produk hukum yang
dirumuskan secara abstrak dan pasif. Abstrak karena sangat umum sifatnya dan
pasif karena tidak akan menimbulkan akibat hukum apabila tidak terjadi
peristiwa konkrit. Sehingga ruang lingkup keberlakuannya sangat luas.
Keleluasaan ini sangat rentan untuk dipahami secara berbeda-beda oleh para
subjek hukum yang berkepentingan. Akibatnya, dalam kasus-kasus tertentu
masing-masing akan cenderung memakai metode penafsiran yang paling
menguntungkan posisi dirinya. Oleh karenanya, peristiwa hukum yang abstrak
memerlukan rangsangan agar dapat aktif dan dapat diterapkan. Hal-hal yang
memerlukan penafsiran pada umumnya adalah perjanjian dan undang-undang.
Adapun pengertian penafsiran hukum menurut Sudikno
Mertokusumo adalah:
Metode penemuan hukum dalam hal peraturannya ada tetapi tidak jelas untuk
dapat diterapkan pada peristiwanya. (Sudikno Mertokusumo, 1993 : 21)
Terdapat banyak metode penafsiran hukum, salah satu metode penafsiran hukum
yang digunakan dalam konteks ini adalah metode penafsiran sistematis, kita
harus membaca undang-undang dalam keseluruhannya, kita
tidak boleh mengeluarkan suatu ketentuan lepas dari keseluruhannya, tetapi kita
harus meninjaunya dalam hubungannya dengan ketentuan sejenis, antara banyak
peraturan terdapat hubungan yang satu timbul dan yang lain seluruhnya merupakan
satu system besar. (Sudikno Mertokusumo, 1993: 60).
Dalam konteks ini, antara UUWDP dengan UUPT baru kalau kita membandingkan ketentuan dalam pasal 29
ayat I UUPT baru bahwa dinyatakan
(I)
Daftar Perseroan diselenggarakan
Menteri
Adapun pengertian Menteri dalam pasal I angka 16 UUPT yang baru adalah
sebagai barikut:
Menteri adalah menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang
hukum dan hak asasi manusia.
Sedangkan kalau kita membandingkan dengan ketentuan pasal 21 ayat I UUPT
lama beserta penjelasannya :
(II)
Direksi perseroan wajib
mendaftarkan dalam Daftar perusahaan
a. Akta pendirian beserta surat pengesahan Menteri Kehakiman.
b. Akta perubahan anggaran dasar beserta surat persetujuan Menteri Kehakiman.
c. Akta perubahan anggaran dasar beserta laporan kepada Menteri Kehakiman.
III.
Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa UUWDP masih tetap berlaku bagi
badan, hukum lainnya selain badan hukum yang berbentuk PT seperti Firma,
Persekutuan Komanditer (CV), Koperasi dan bentuk usaha perorangan, tetapi yang
berkaitan dengan pendaftaran perseroan bagi PT tidak lagi merujuk UUWDP
tetapi kepada UUPT No 40 tahun 2007 serta ketentuan lebih lanjut tentang daftar
perseroan yang diatur oleh Menkumham yaitu Peraturan Menteri Hukum dan Ham
No.M.HH.03.AH.01.01 tahun 2009 tentang Daftar Perseroan.
Referensi :
Disusun Oleh :
- Annisa Meidiyoana (20210919)
- Dina Munawaroh (22210064)
- Dini Triana (22210079)
- Laraz Sekar Arum W (23210968)
- Nia Ismatu Ulfa (24210956)
Jumat, 04 Mei 2012
PRAKTEK MONOPOLI DI INDONESIA PRA DAN PASCA UU NO. 5 TAHUN 1999 TENTANG ANTI MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT
Review Jurnal : PRAKTEK MONOPOLI DI INDONESIA PRA DAN PASCA UU NO. 5 TAHUN 1999 TENTANG ANTI MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT
Pengarang : Pandu Soetjiptro
Institusi : Universitas Diponegoro
Sumber : http://eprints.undip.ac.id/18669/1/PANDU_SOETJITRO.pdf
ABSTRAK
Penulisan
ini didasarkan pada praktek Monopoli dan Persaingan tidak sehat atau
persaingan curang diantara para pelaku usaha di Indonesia sejak masa
orde baru bahkan sampai saat inipun dampaknya masih sangat merugikan
konsumen dan pelaku bisnis yang lain, khususnya bagi industri yang
kurang bonafit secara finansial meskipun persaingan itu sendiri sangat
diperlukan dalam berbagai jenis usaha untuk menambah kreatifitas,
efektifitas dan daya saing dalam industry itu sendiri. Tetapi karena
sistem birokrasi dan perekonomian di Indonesia sarat dengan sistem
persekongkolan yang tidak sehat maka persaingan itu sendiri menjadi
terdistorsi. Kesempatan yang diperoleh oleh industri kecil untuk
mendapat akses dan masuk kedalam industri dan pasar yang ada sangat
minim, tetapi yang sangat menguntungkan bagi industri kecil mereka masih
dapat eksis karena memiliki keistimewaan produksinya tidak bisa ditiru
oleh pengusaha industri besar. Menggunakan tenaga kerja sendiri dengan
upah yang sangat rendah bahkan dapat dikerjakan oleh keluarganya sendiri
serta mempunyai akses bahan baku yang murah dan sederhana.
Tujuan
penulisan ini adalah untuk mengetahui dan memperoleh kejelasan tentang
latar belakang terjadinya praktek monopoli maupun persaingan tidak sehat
yang berlaku dalam proses bisnis di Indonesia, baik itu bisnis dalam
bentuk konglomerasi maupun dalam bentuk industri kecil serta untuk
memperoleh penjelasan adakah terjadi perubahan kondisi persaingan bisnis
di Indonesia sesudah adanya UU No.5 tahun 1999.
Hasil
penulisan ini menunjukkan bahwa sebenarnya monopoli dan persaingan
dapat berjalan secara seiring dalam kegiatan bisnis, karena monopoli
bisa bersifat ”natural” yaitu dari kegiatan bisnis yang kecil dapat
menjadi bisnis yang besar atau sekaligus bisnis raksasa. Hanya
kendalanya Industri Kecil di Indonesia masih berjalan secara tradisional
dan kurang greget mencari akses untuk modal maupun pemasarannya.
Oleh
karena itu dapat direkomendasikan bahwa pemerintah harus terus
memperbaiki struktur perekonomian Indonesia agar pelaku bisnis dapat
berkompetisi secara fair, sistem birokrasi prekonomian harus ditata
dengan lebih baik serta memberikan pembinaan dan akses masuk kedalam
“industri” kepada pelaku bisnis dengan modal lemah/ industri kecil.
PENDAHULUAN
- Latar Belakang Penulisan
Dalam
dunia usaha, persangan harus dianggap positif. Dalam Teori Ilmu
Ekonomi, persaingan yang sempurna adalah suatu kondisi pasar yang ideal.
Paling tidak ada empat asumsi yang melandasi agar terjadinya persaingan
yang sempurna pada suatu pasar tertentu. Asumsi tersebut adalah:
1. Pelaku usaha tidak dapat menentukan secara sepihak harga produk atau jasa,
2. Barang dan jasa yang dihasilkan oleh pelaku usaha mempunyai kebebasan untuk masuk ataupun keluar dari pasar
3. Pelaku usaha mempunyai kebebasan untuk masuk atau keluar dari pasar “perfect mobility of resource”
4. Konsumen dan pelaku pasar memiliki informasi yang sempurna tentang berbagai hal
Persaingan
memberikan keuntungan kepada para pelaku usaha maupun kepada konsumen.
Dengan adanya persaingan maka pelaku usaha akan berlomba-lomba untuk
terus memperbaiki produk ataupun jasa yang dihasilkan sehingga pelaku
usaha terus menerus melakukan inovasi dan berupaya keras memberi produk
atau jasa yang terbaik bagi konsumen. Disisi lain dengan adanya
persaingan maka konsumen sangat diuntungkan karena mereka mempunyai
pilihan dalam membeli produk atau jasa tertentu dengan harga yang murah
dan kualitas baik.
Dibeberapa negara, hukum persaingan dikenal dengan istilah, “Antitrust Laws”
atau antimonopoli. Di Indonesia istilah yang sering digunakan adalah
hukum persaingan atau anti monopoli. Di Indonesia hukum anti monopoli
diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang larangan prakek
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Undang-undang ini merupakan
pengaturan secara khusus dan komprehensif yang berkaitan dengan
persaingan antar pelaku usaha.
Munculnya
persaingan menjadikan setiap pelaku pasar dituntut untuk terus
menemukan metode produksi yang baru untuk memperbaiki kualitas dan harga
barang maupun jasa yang dihasilkannya, sehingga terciptalah efisiensi
ekonomi, yang berarti pelaku usaha dapat menjual barang dengan harga
yang wajar. Hukum persaingan diciptakan dalam rangka mendukung
terbentuknya sistem ekonomi pasar, agar persaingan antar pelaku usaha
dapat tetap hidup dan berlangsung secara sehat, sehingga konsumen dapat
terlindungi dari ajang ekploitasi bisnis.
Pada
tanggal 5 Maret 1999 telah diundangkan Undang-undang Republik Indonesia
No.5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat (Undang-undang Anti Monopoli). Pasal 3 Undang-undang
tersebut menyatakan bahwa tujuan pembentukan Undang-undang ini adalah
untuk :
1. Menjaga
kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai
salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat,
2. Mewujudkan
iklim usaha yang kondusif melalui persaingan usaha yang sehat sehinggan
menjamin adanya kepastian kesempatan yang sama bagi pelaku usaha besar,
pelaku usaha menengah dan pelaku usaha kecil,
3. Mencegah praktek monopoli atau praktek usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha,
4. Terciptanya efektifitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha
Sehubungan
dengan lahirnya Undang-undang no.5 tahun 1999 maka Indonesia harus
menata kembali kerangka perekonomiannya, yang selama 32 tahun terpola
seperti yang diinginkan oleh Pemerintah Orde Baru, dimana perekonomian
Indonesia bergantung sepenuhnya pada kebijakan penguasa pada saat itu.
LANDASAN TEORI
Penelitian
ini dimulai dari pembahasan tentang hukum persaingan dan monopoli,
peran dunia usaha, industri kecil serta ketentuan-ketentuan dalam UU
No.5 th 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha
tidak sehat. Pengertian “persaingan” berasal dari kata “saing” kata
saing mempunyai persamaan kata dengan “lomba” (atau mengatasi, dahulu
mendahului) sehingga kata “persaingan” mempunyai arti usaha
memperlihatkan keunggulan masing-masing yang dilakukan oleh perorangan
(perusahaan Negara pada bidang perdagangan produksi, persenjataan dan
sebagainya).
Marshall
C. Howard berpendapat bahwa persaingan merupakan istilah umum yang
dapat digunakan untuk segala sumber daya yang ada. Persaingan adalah
“jantungnya” ekonomi pasar bebas. Menurut teori, suatu sistem ekonomi
pasar bebas memiliki ciri : adanya persaingan, bebas dari segala
hambatan, tersedianya sumber daya yang optimal. Dengan adanya persaingan, pelaku usaha dipaksa untuk menghasilkan produk-produk berkualitas.
Dalam
upaya merebut konsumen sebanyak-banyaknya pelaku usaha yang
menghasilkan barang selalu berusaha memperbaiki mutu barang sejenis agar
lebih laku dipasaran. Dalam menghadapi persaingan, pelaku usaha selalu
berusaha melakukan diversifikasi dan ekstensifikasi usaha, oleh karena
itu tidak mengherankan apabila pelaku usaha berhasrat menguasai berbagai
sektor industri strategis, mulai dari industri hulu hingga hilir,
sehingga salah satu dampak negatif dari persaingan adalah kepemilikan
suatu usaha berada dalam satu tangan (konglomerat) sehingga ia bisa
mengendalikan pasar yang akhirnya akan mengarah pada iklim persaingan
yang tidak sehat.
Membahas
mengenai hukum persaingan yang merupakan salah satu bagian dari hukum
ekonomi, tentu tidak akan lepas dari pembahasan dari mengenai Pasal 33
Undang-undang Dasar 1945 yang berfungsi sebagai panduan normatif dalam
menyusun kebijakan-kebijakan ekonomi nasional. Pasal 33 Undang-undang
Dasar 1945 tersirat bahwa tujuan pembangunan ekonomi yang hendak dicapai
haruslah berdasarkan kepada demokrasi yang bersifat kerakyatan yaitu
adanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, melindungi
kepentingan rakyat melalui pendekatan kesejahteraan dengan membiarkan
mekanisme pasar berjalan dengan bebas, memberikan petunjuk bahwa
jalannya perekonomian nasional tidak diserahkan begitu saja kepada
pasar, tetapi memerlukan peaturan perundang-undangan untuk mengatur
jalannya perekonomian nasional.
Pengaturan
perekonomian dengan perundang-undangan tujuannya adalah untuk
menciptakan struktur ekonomi nasional dalam rangka mewujudkan demokrasi
ekonomi berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Pengaturan
tersebut untuk menghindari kemungkinan terjadinya hal-hal sebagai
berikut :
a. Sistem
Free Fight Liberalism yang dapat menumbuhkan eksploitasi manusia dan
bangsa lain, yang dalam sejarahnya di Indonesia telah menimbulkan
kelemahan struktur ekonomi nasional dalam posisi Indonesia dalam
percaturan ekonomi dunia.
b. Sistem
etatisme dalam arti bahwa negara berserta aparatur ekonomi Negara
bersifat dominan, mendesak dan mematikan potensi serta daya kreasi
unit-unit ekonomi diluar sektor negara.
c. Persaingan
tidak sehat serta pemusatan kekuatan ekonomi pada satu kelompok dalam
berbagai bentuk monopoli dan monopsoni yang merugikan masyarakat dan
bertentangan dengan cita-cita keadilan social.
Praktek monopoli akan terjadi bila :
- Monopoli diberikan kepada satu atau beberapa perusahaan tertentu saja, tanpa melalui Undang-undang.
- Monopoli atau kedudukan monopolistik diperoleh dari kerjasama antara dua atau lebih organisasi sejenis baik dalam bentuk pengaturan persaingan diantara mereka sendiri maupun dalam bentuk peleburan atau fusi.
METODELOGI
Penulisan
ini membutuhkan data yang akurat yang dititikberatkan kepada data
primer dari instansi yang terkait dan data sekunder yang diperoleh dari
penelitian kepustakaan sehingga permasalahan pokok yang diteliti dapat
dijawab secara tuntas. Penulis mengemukakan metode sebagai berikut:
- Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam penulisan ini adalah pendekatan yuridis empiris karena penulisan ini dimaksudkan untuk membahas secara teoritik mengenai praktek monopoli dan persaingan serta pengaruhnya bagi persaingan usaha serta pengaturannya dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Penelitian yuridis empiris dilakukan dengan cara meneliti data yang diperoleh langsung dari masyarakat atau data primer dengan cara melakukan pengambilan data dari instansi terkait.
- Spesifikasi Penelitian
Penulisan
ini bersifat diskriptif analistis karena secara spesifik penelitian ini
bertujuan memberikan gambaran mengenai praktek monopoli di Indonesia
dan pengaruhnya terhadap persaingan usaha serta pengaturannya sebelum
dan sesudah lahirnya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, sehingga dari analisis ini
dapat diperoleh kesimpulan umum mengenai persaingan bisnis yang paling
ideal dan tidak mengakibatkan monopoli atau persaingan usaha tidak sehat
- Sumber Data
Sumber data yang digunakan untuk penulisan ini adalah Library Research.
PEMBAHASAN
- Praktek Monopoli Sebelum dan Sesudah Lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
Monopoli
adalah ciri khas bisnis pada Era Orde Baru yang berdampak sangat
merugikan bagi perkembangan bisnis dan ekonomi di Indonesia. Kata
monopoli berasal dari bahasa Yunani yang berarti penjual tunggal. Di
Amerika sering digunakan istilah anti trust untuk pengertian yang
sepadan dengan “anti monopoli” atau istilah dominasi yang sering dipakai
oleh masyarakat Eropa, yang artinya sepadan dengan istilah monopoli.
monopoli sebagai suatu keistimewaan yang berupa hak eksklusif dalam
menjalankan perdagangan atau dalam memproduksi barang khusus, serta
dapat mengontrol penjualan dan distribusi produk tertentu.
Ciri
khas pemerintah Orde Baru adalah lebih mengutamakan pertumbuhan ekonomi
dari pada pembenahan masalah Negara yang lain, misalnya perbaikan
masalah hukum. Dalam perekonomian ada beberapa aktor pelaku pasar yaitu
pelaku usaha atau perusahaan dan asosiasi bisnis atau asosiasi pelaku
usaha yang juga memainkan peranan penting dalam berbagai industri.
Asosiasi bisnis atau trade association menjadi wadah bagi para pelaku usaha untuk berkomunikasi di antara pelaku usaha dalam industri yang sama dan berpengaruh dalam penentuan kebijakan
anggota dan industri mereka. Eksistensi asosiasi bisnis dibutuhkan dan
intens digunakan sebagai wadah untuk pelatihan, komunikasi, mencari
peluang bisnis, kerjasama, medium komunikasi dengan pemerintah, sumber
informasi, mencari peluang pasar baru, menetapkan standar regulasi
industri, menetapkan aturan atau perjanjian dalam bisnis bahkan melihat
strategi atau peluang apa yang terbuka dalam menembus pasar global.
Sering
secara umum pelaku usaha dalam asosiasi melakukan kesepakatan di antara
mereka sendiri. Perjanjian diantara mereka tidak semuanya berakibat
negatif bagi persaingan dan mungkin saja menghasilkan keuntungan.
Perjanjian yang dilakukan dapat ditujukan untuk mengurangi risiko usaha,
menciptakan efisiensi dan mendorong inovasi, efisiensi biaya ketika
melakukan riset penelitian bersama sampai pada pengembangan jaringan
distribusi.
Pelaku
usaha dan pesaing dapat juga berjanji untuk membatasi produksi sehingga
akan menyebabkan harga naik, menetapkan harga yang sama, dan merugikan
kepentingan konsumen dan perekonomian. Tindakan bersama
antara beberapa pelaku usaha dan pesaingnya membentuk oligopoli informal
baru yang menghasilkan beberapa pemain yang mendominasi pasar dan
selanjutnya menciptakan distorsi pasar yang akan menciptakan juga
monopolis baru.
Ada
lagi beberapa kegiatan yang dilakukan oleh dan difasilitasi oleh
asosiasi pelaku usaha yang sifatnya anti persaingan. Sebagaimana diatur
dalam konteks UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat, kegiatan lain itu misalnya Penetapan Harga
(price fixing). Sesuai dengan isi pasal 5 ayat (1) UU No.5 tahun 1999
penetapan harga didefinisikan sebagai berikut : “bahwa pelaku usaha
dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk
menetapkan harga atas suatu barang dan / atau jasa yang harus dibayar
oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama”.
- Prospek UU No. 5 Tahun 1999 Dalam Mencegah Terjadinya Praktek Monopoli
Tujuan
UU Antimonopoli Indonesia adalah menjaga kepentingan umum, meningkatkan
efisiensi ekonomi nasional, meningkatkan kesejahteraan rakyat,
menciptakan iklim usaha yang kondusif melalui persaingan sehat,
mewujudkan kegiatan usaha yang efektif dan efisien dengan melarang
monopoli.
Ketentuan
UU Antimonopoli baru dapat diterapkan kepada pelaku usaha yang membuat
perjanjian jika perjanjian tersebut mempunyai akibat terhadap pasar yang
bersangkutan, yaitu terjadi praktik monopoli dan/atau persaingan usaha
tidak sehat. Perjanjian yang bersifat rule of reason adalah ketentuan
pasal 7, pasal 8, pasal 9, pasal 11, pasal 16, pasal 22, pasal 23, dan
pasal 24. Perjanjian horisontal yang ditetapkan di dalam UU Antimonopoli
adalah sebagai berikut :
· Penetapan Harga
Ketentuan
pasal 5 ayat 1 adalah apa yang dikenal dengan larangan price fixing
secara horisontal. Ketentuan pasal 5 ayat 1 tersebut adalah suatu
larangan yang per se. artinya, para pelaku usaha otomatis ditindak oleh
KPPU, jika mereka membuat perjanjian penetapan harga, tanpa
memperhatikan apakah akan terjadi persaingan usaha tidak sehat atau
tidak sebagai akibat penetapan harga tersebut, karena yang mengalami
akibat dari perjanjian tersebut adalah konsumen/pembeli.
Dengan
demikian harga yang di bayar oleh konsumen / pembeli bukanlah harga
yang ditentukan oleh persaingan antar pelaku usaha, dan melalui proses
antara permintaan dan penawaran, melainkan karena ditetapkan oleh para
pelaku usaha yang membuat perjanjian price fixing tersebut.
Penetapan
harga suatu barang atau jasa tertentu ditetapkan berdasarkan banyak
faktor, dan dalam sistem ekonomi pasar penetapan harga juga ditentukan
oleh persaingan antar pelaku usaha pesaing. Menurut prinsip dasar
persaingan usaha, harga atas suatu barang atau jasa yang harus dibayar
oleh konsumen tidak boleh ditetapkan oleh siapapun, termasuk
asosiasi-asosiasi ekonomi seperti INACA.
· Diskriminasi Harga dan Diskon
Larangan penetapan diskriminasi (price discrimination)
disebutkan dalam pasal 6 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999. Pasal 6
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tersebut menyatakan bahwa pelaku usaha
dilarang membuat perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang satu harus
membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh
pembeli lain untuk barang dan/atau jasa yang sama.
Berdasarkan
ketentuan Pasal 6 tersebut, diskriminasi harga dilarang apabila pelaku
usaha membuat suatu perjanjian dengan pelaku usaha lain yang
mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar harga yang tidak sama
atau berbeda dengan harga yang harus dibayar pembeli lain untuk barang
dan/atau jasa yang sama, karena hal ini dapat menimbulkan persaingan
usaha yang tidak sehat di kalangan pelaku usaha atau dapat merusak
persaingan usaha.
Dalam
hal ini terdapat tiga jenis dan tingkatan strategis diskriminasi harga,
di mana setiap tingkatan menuntut informasi yang berbeda mengenai
konsumen, yaitu:
* Diskriminasi harga sempurna
Di
mana produsen akan menetapkan harga yang berbeda untuk setiap konsumen.
Dengan menerapkan strategi ini, produsen akan menyerap seluruh surplus
konsumen, sehingga dapat mencapai laba yang paling tinggi.
* Diskriminasi tingkat harga kedua,
Pada
strategi ini produsen menerapkan harga yang berbeda untuk setiap
pembelinya berdasarkan jumlah barang yang dibeli. Pembeli yang bersedia
membeli barang lebih banyak diberikan harga per unit yang lebih murah.
* Diskriminasi
harga umumnya ditetapkan produsen yang mengetahui bahwa permintaan atas
produk mereka beragam secara sistematik berdasarkan karakteristik
konsumen dan kelompok demografis.
· Pembagian Wilayah Pasar
Pembagian
wilayah pasar di antara pelaku usaha yang saling bersaing merupakan
salah satu bentuk perjanjian horisontal (kartel) yang dilarang oleh UU
Antimonopoli. Ketentuan pasal 9 menetapkan bahwa pelaku usaha dilarang
membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya dengan tujuan untuk
membagi wilayah pemasaran atau lokasi pasar terhadap barang dan / atau
jasa sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan / atau
persaingan usaha tidak sehat.
Unsur
yang harus dipenuhi dari ketentuan pasal 9 adalah bahwa pelaku usaha
harus saling bersaing pada pasar yang sama dan membuat suatu perjanjian
pembagian wilayah pemasaran. Akibat dari kesepakatan pembagian wilayah
pemasaran tersebut, wilayah pemasaran masing-masing pelaku usaha menjadi
terbatas.
· Pemboikotan
Pemboikotan
salah satu hambatan persaingan diatur di dalam ketentuan pasal 10 UU
Antimonopoli. Syarat-syarat terpenuhinya suatu pemboikotan adalah saat
para pelaku usaha yang saling bersaing pada pasar yang sama membuat
suatu perjanjian diantara mereka. Perjanjian yang dibuat mempunyai
akibat bagi pelaku usaha yang lain, yaitu menghambat untuk masuk kepasar
yang bersangkutan (pasal 10 ayat 1). Hal yang lazim dilakukan dalam
pemboikotan adalah pemboikotan pemasaran atau pembelian suatu barang
atau jasa tertentu yang dilakukan oleh pelaku usaha yang saling bersaing
sehingga merugikan pelaku usaha yang lain (pasal 10 ayat 2).
· Penetapan Jumlah Produksi
Ketentuan
pasal 11 mengatur larangan pengaturan jumlah produksi dan / atau
pemasaran suatu barang atau jasa tertentu yang bermaksud untuk
mempengaruhi harga yang dapat mengakibatkan praktek monopoli dan / atau
persaingan usaha tidak sehat. Ketentuan pasal 11 tersebut dapat
dikenakan, jika pelaku usaha yang saling bersaing membuat perjanjian
yang menetapkan jumlah produksi atau pemasaran barang tertentu.
Perjanjian tersebut harus mempunyai tujuan, yaitu untuk melakukan
kegiatan koordinasi produksi dan pemasaran yang mempengaruhi harga
barang atau jasa tertentu yang mengganggu (menghambat) persaingan pada
pasar yang bersangkutan. Unsur-unsur ketentuan pasal 11 adalah:
* Adanya perjanjian di antara pelaku usaha
* Mengatur jumlah produksi
* Mengatur pemasaran suatu barang dan/atau jasa
* Bermaksud untuk mempengaruhi harga
* Dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
· Persekongkolan
Persekongkolan
yang ditetapkan di dalam pasal 22 sampai pasal 24 mengenai pengaturan
tender, tukar menukar informasi, dan hambatan masuk pasar menunjukkan
bahwa UU Antimonopoli juga mengenal unsur yang disebut saling
menyesuaikan perilaku pasar pelaku usaha (kegiatan kolusif).
Persekongkolan
merupakan perjanjian horisontal yang dilakukan tanpa membuat suatu
perjanjian tertulis. Sejauh mana pembuktian suatu kegiatan
persekongkolan, dapat dilihat dari kondisi pasar yang bersangkutan,
yaitu terhambatnya persaingan diantara pelaku usaha karena penyesuaian
perilaku pelaku usaha yang satu yang diikuti secara sengaja (sadar) oleh
pelaku usaha yang lain untuk mencapai tujuan yang sama.
Pasal
22 mengatur larangan persekongkolan antara pelaku usaha dengan pihak
lain untuk mengatur dan / atau menentukan pemenang tender sehingga dapat
mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat. Persekongkolan yang
biasanya dilakukan dalam tender adalah untuk mempengaruhi harga yang
akan ditawarkan oleh peserta tender. Yang menjadi penghambat dalam
penerapan pasal 22 tersebut adalah ketentuan pasal 1 angka 8, yang
menetapkan bahwa persekongkolan atau konspirasi bentuk kerja sama antara
pelaku usaha yang satu dengan yang lain untuk menguasai pasar yang
bersangkutan bagi pelaku usaha yang bersekongkol.
Ketentuan
pasal 23 mengatur hambatan persaingan melalui tukar menukar informasi
antara pelaku usaha dengan pihak lain (pihak ketiga). Diasumsikan pihak
ketiga memberikan informasi pelaku usaha yang bersifat rahasia secara
strategis yang dapat mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat.
Persekongkolan
yang ditetapkan pasal 24 sebenarnya adalah suatu larangan tindakan
pemboikotan seperti yang ditetapkan di dalam pasal 10. Pelaku usaha
dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk menghambat produksi dan /
atau pemasaran barang dan / atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan
tujuan barang atau jasa pesaingnya berkurang pada pasar yang
bersangkutan, baik dari jumlah, kualitas, maupun ketepatan waktu yang
dipersyaratkan.
Dalam
aspek perilaku ini ditelusuri bentuk praktek yang tidak lazim dilihat
dan standar persaingan yang sehat dan jujur. Berbagai tindakan dan upaya
secara tidak sehat untuk menyingkirkan pelaku usaha lainnya (misalnya
trust, kartel, price fixing, diskriminasi harga, pembagian wilayah, dll)
biasa dimasukkan kedalam praktek monopoli dan persaingan tidak sehat.
RESUME
Monopoli
dan Persaingan Usaha merupakan hal biasa dalam kegiatan ekonomi. Sejauh
kegiatan itu dilakukan dalam rambu-rambu hukum, implikasi penerapan
monopoli dan persaingan usaha tidak bisa dihindari dalam mekanisme
ekonomi pasar. Hanya bedanya apa yang terjadi sebelum adanya
Undang-undang No.5 Tahun 1999 praktek-praktek monopoli maupuan
persaingan tidak diatur dalam koridor hukum yang seharusnya.
Sesudah
Undang-undang No. 5 Tahun 1999 Praktek Monopoli dalam kegiatan bisnis
dilarang jika terbukti merugikan pelaku usaha lain, konsumen, masyarakat
maupun negara. Undang-undang No. 5 Tahun 1999 menegaskan larangan
praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat diantara para pelaku
usaha dapat diancam dengan sanksi administratif dan sanksi pidana.
Ketentuan Undang-udang No. 5 Tahun 1999 telah memenuhi prinsip
Undang-undang Anti Monopoli dalam mengatur Struktur Pasar dan perilaku
bisnis, karena memuat gabungan dua pengaturan yang di masukkan dalam
satu kitab per undang-undangan baik itu mengenai Undang-undang Anti
Monopoli maupun peraturan perundangan yang menyangkut persaingan usaha
atau Competition Act.
Penegakan
hukum persaingan usaha di Indonesia diserahkan kepada Komisi Pengawas
Persaingan usaha (KPPU), selain keterlibatan aparat Kepolisian,
Kejaksaan dan Pengadilan. Penegakan pelanggaran hukum persaingan harus
dilakukan terlebih dahulu melalui KPPU. penegakan hukum persaingan usaha
dapat dilakukan oleh Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan saja. Karena
Pengadilan merupakan tempat penyelesaian perkara resmi yang dibentuk
oleh negara. Namun untuk hukum persaingan usaha, pada tingkat pertama
penyelesaian sengketa antar pelaku usaha tidak dapat dilakukan oleh
pengadilan. Alasannya adalah karena hukum persaingan usaha membutuhkan
orang-orang yang memiliki latar belakang dan/atau mengerti betul seluk
beluk bisnis dalam rangka menjaga mekanisme pasar.
Pelaksanaan
Undang-undang No.5 Tahun 1999 yang akan diterapkan pada pelaku usaha
yang melakukan praktek monopoli maupun praktek persaingan curang harus
dilaksanakan dengan berbagai pertimbangan efektifitas yang tepat.
Sehingga tidak mengganggu kepentingan efisiensi jalannya ekonomi negara
secara keseluruhan, tetapi tetap harus mengutamakan persaingan usaha
yang sehat dan jujur.
REFERENSI
Disusun Oleh :
- Annisa Meidiyoana (20210919)
- Dina Munawaroh (22210064)
- Dini Triana (22210079)
- Laraz Sekar Arum W (23210968)
- Nia Ismatu Ulfa (24210956)
Kelas : 2EB05
Langganan:
Postingan (Atom)