Review Jurnal : PRAKTEK MONOPOLI DI INDONESIA PRA DAN PASCA UU NO. 5 TAHUN 1999 TENTANG ANTI MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT
Pengarang : Pandu Soetjiptro
Institusi : Universitas Diponegoro
Sumber : http://eprints.undip.ac.id/18669/1/PANDU_SOETJITRO.pdf
ABSTRAK
Penulisan
ini didasarkan pada praktek Monopoli dan Persaingan tidak sehat atau
persaingan curang diantara para pelaku usaha di Indonesia sejak masa
orde baru bahkan sampai saat inipun dampaknya masih sangat merugikan
konsumen dan pelaku bisnis yang lain, khususnya bagi industri yang
kurang bonafit secara finansial meskipun persaingan itu sendiri sangat
diperlukan dalam berbagai jenis usaha untuk menambah kreatifitas,
efektifitas dan daya saing dalam industry itu sendiri. Tetapi karena
sistem birokrasi dan perekonomian di Indonesia sarat dengan sistem
persekongkolan yang tidak sehat maka persaingan itu sendiri menjadi
terdistorsi. Kesempatan yang diperoleh oleh industri kecil untuk
mendapat akses dan masuk kedalam industri dan pasar yang ada sangat
minim, tetapi yang sangat menguntungkan bagi industri kecil mereka masih
dapat eksis karena memiliki keistimewaan produksinya tidak bisa ditiru
oleh pengusaha industri besar. Menggunakan tenaga kerja sendiri dengan
upah yang sangat rendah bahkan dapat dikerjakan oleh keluarganya sendiri
serta mempunyai akses bahan baku yang murah dan sederhana.
Tujuan
penulisan ini adalah untuk mengetahui dan memperoleh kejelasan tentang
latar belakang terjadinya praktek monopoli maupun persaingan tidak sehat
yang berlaku dalam proses bisnis di Indonesia, baik itu bisnis dalam
bentuk konglomerasi maupun dalam bentuk industri kecil serta untuk
memperoleh penjelasan adakah terjadi perubahan kondisi persaingan bisnis
di Indonesia sesudah adanya UU No.5 tahun 1999.
Hasil
penulisan ini menunjukkan bahwa sebenarnya monopoli dan persaingan
dapat berjalan secara seiring dalam kegiatan bisnis, karena monopoli
bisa bersifat ”natural” yaitu dari kegiatan bisnis yang kecil dapat
menjadi bisnis yang besar atau sekaligus bisnis raksasa. Hanya
kendalanya Industri Kecil di Indonesia masih berjalan secara tradisional
dan kurang greget mencari akses untuk modal maupun pemasarannya.
Oleh
karena itu dapat direkomendasikan bahwa pemerintah harus terus
memperbaiki struktur perekonomian Indonesia agar pelaku bisnis dapat
berkompetisi secara fair, sistem birokrasi prekonomian harus ditata
dengan lebih baik serta memberikan pembinaan dan akses masuk kedalam
“industri” kepada pelaku bisnis dengan modal lemah/ industri kecil.
PENDAHULUAN
- Latar Belakang Penulisan
Dalam
dunia usaha, persangan harus dianggap positif. Dalam Teori Ilmu
Ekonomi, persaingan yang sempurna adalah suatu kondisi pasar yang ideal.
Paling tidak ada empat asumsi yang melandasi agar terjadinya persaingan
yang sempurna pada suatu pasar tertentu. Asumsi tersebut adalah:
1. Pelaku usaha tidak dapat menentukan secara sepihak harga produk atau jasa,
2. Barang dan jasa yang dihasilkan oleh pelaku usaha mempunyai kebebasan untuk masuk ataupun keluar dari pasar
3. Pelaku usaha mempunyai kebebasan untuk masuk atau keluar dari pasar “perfect mobility of resource”
4. Konsumen dan pelaku pasar memiliki informasi yang sempurna tentang berbagai hal
Persaingan
memberikan keuntungan kepada para pelaku usaha maupun kepada konsumen.
Dengan adanya persaingan maka pelaku usaha akan berlomba-lomba untuk
terus memperbaiki produk ataupun jasa yang dihasilkan sehingga pelaku
usaha terus menerus melakukan inovasi dan berupaya keras memberi produk
atau jasa yang terbaik bagi konsumen. Disisi lain dengan adanya
persaingan maka konsumen sangat diuntungkan karena mereka mempunyai
pilihan dalam membeli produk atau jasa tertentu dengan harga yang murah
dan kualitas baik.
Dibeberapa negara, hukum persaingan dikenal dengan istilah, “Antitrust Laws”
atau antimonopoli. Di Indonesia istilah yang sering digunakan adalah
hukum persaingan atau anti monopoli. Di Indonesia hukum anti monopoli
diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang larangan prakek
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Undang-undang ini merupakan
pengaturan secara khusus dan komprehensif yang berkaitan dengan
persaingan antar pelaku usaha.
Munculnya
persaingan menjadikan setiap pelaku pasar dituntut untuk terus
menemukan metode produksi yang baru untuk memperbaiki kualitas dan harga
barang maupun jasa yang dihasilkannya, sehingga terciptalah efisiensi
ekonomi, yang berarti pelaku usaha dapat menjual barang dengan harga
yang wajar. Hukum persaingan diciptakan dalam rangka mendukung
terbentuknya sistem ekonomi pasar, agar persaingan antar pelaku usaha
dapat tetap hidup dan berlangsung secara sehat, sehingga konsumen dapat
terlindungi dari ajang ekploitasi bisnis.
Pada
tanggal 5 Maret 1999 telah diundangkan Undang-undang Republik Indonesia
No.5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat (Undang-undang Anti Monopoli). Pasal 3 Undang-undang
tersebut menyatakan bahwa tujuan pembentukan Undang-undang ini adalah
untuk :
1. Menjaga
kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai
salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat,
2. Mewujudkan
iklim usaha yang kondusif melalui persaingan usaha yang sehat sehinggan
menjamin adanya kepastian kesempatan yang sama bagi pelaku usaha besar,
pelaku usaha menengah dan pelaku usaha kecil,
3. Mencegah praktek monopoli atau praktek usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha,
4. Terciptanya efektifitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha
Sehubungan
dengan lahirnya Undang-undang no.5 tahun 1999 maka Indonesia harus
menata kembali kerangka perekonomiannya, yang selama 32 tahun terpola
seperti yang diinginkan oleh Pemerintah Orde Baru, dimana perekonomian
Indonesia bergantung sepenuhnya pada kebijakan penguasa pada saat itu.
LANDASAN TEORI
Penelitian
ini dimulai dari pembahasan tentang hukum persaingan dan monopoli,
peran dunia usaha, industri kecil serta ketentuan-ketentuan dalam UU
No.5 th 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha
tidak sehat. Pengertian “persaingan” berasal dari kata “saing” kata
saing mempunyai persamaan kata dengan “lomba” (atau mengatasi, dahulu
mendahului) sehingga kata “persaingan” mempunyai arti usaha
memperlihatkan keunggulan masing-masing yang dilakukan oleh perorangan
(perusahaan Negara pada bidang perdagangan produksi, persenjataan dan
sebagainya).
Marshall
C. Howard berpendapat bahwa persaingan merupakan istilah umum yang
dapat digunakan untuk segala sumber daya yang ada. Persaingan adalah
“jantungnya” ekonomi pasar bebas. Menurut teori, suatu sistem ekonomi
pasar bebas memiliki ciri : adanya persaingan, bebas dari segala
hambatan, tersedianya sumber daya yang optimal. Dengan adanya persaingan, pelaku usaha dipaksa untuk menghasilkan produk-produk berkualitas.
Dalam
upaya merebut konsumen sebanyak-banyaknya pelaku usaha yang
menghasilkan barang selalu berusaha memperbaiki mutu barang sejenis agar
lebih laku dipasaran. Dalam menghadapi persaingan, pelaku usaha selalu
berusaha melakukan diversifikasi dan ekstensifikasi usaha, oleh karena
itu tidak mengherankan apabila pelaku usaha berhasrat menguasai berbagai
sektor industri strategis, mulai dari industri hulu hingga hilir,
sehingga salah satu dampak negatif dari persaingan adalah kepemilikan
suatu usaha berada dalam satu tangan (konglomerat) sehingga ia bisa
mengendalikan pasar yang akhirnya akan mengarah pada iklim persaingan
yang tidak sehat.
Membahas
mengenai hukum persaingan yang merupakan salah satu bagian dari hukum
ekonomi, tentu tidak akan lepas dari pembahasan dari mengenai Pasal 33
Undang-undang Dasar 1945 yang berfungsi sebagai panduan normatif dalam
menyusun kebijakan-kebijakan ekonomi nasional. Pasal 33 Undang-undang
Dasar 1945 tersirat bahwa tujuan pembangunan ekonomi yang hendak dicapai
haruslah berdasarkan kepada demokrasi yang bersifat kerakyatan yaitu
adanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, melindungi
kepentingan rakyat melalui pendekatan kesejahteraan dengan membiarkan
mekanisme pasar berjalan dengan bebas, memberikan petunjuk bahwa
jalannya perekonomian nasional tidak diserahkan begitu saja kepada
pasar, tetapi memerlukan peaturan perundang-undangan untuk mengatur
jalannya perekonomian nasional.
Pengaturan
perekonomian dengan perundang-undangan tujuannya adalah untuk
menciptakan struktur ekonomi nasional dalam rangka mewujudkan demokrasi
ekonomi berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Pengaturan
tersebut untuk menghindari kemungkinan terjadinya hal-hal sebagai
berikut :
a. Sistem
Free Fight Liberalism yang dapat menumbuhkan eksploitasi manusia dan
bangsa lain, yang dalam sejarahnya di Indonesia telah menimbulkan
kelemahan struktur ekonomi nasional dalam posisi Indonesia dalam
percaturan ekonomi dunia.
b. Sistem
etatisme dalam arti bahwa negara berserta aparatur ekonomi Negara
bersifat dominan, mendesak dan mematikan potensi serta daya kreasi
unit-unit ekonomi diluar sektor negara.
c. Persaingan
tidak sehat serta pemusatan kekuatan ekonomi pada satu kelompok dalam
berbagai bentuk monopoli dan monopsoni yang merugikan masyarakat dan
bertentangan dengan cita-cita keadilan social.
Praktek monopoli akan terjadi bila :
- Monopoli diberikan kepada satu atau beberapa perusahaan tertentu saja, tanpa melalui Undang-undang.
- Monopoli atau kedudukan monopolistik diperoleh dari kerjasama antara dua atau lebih organisasi sejenis baik dalam bentuk pengaturan persaingan diantara mereka sendiri maupun dalam bentuk peleburan atau fusi.
METODELOGI
Penulisan
ini membutuhkan data yang akurat yang dititikberatkan kepada data
primer dari instansi yang terkait dan data sekunder yang diperoleh dari
penelitian kepustakaan sehingga permasalahan pokok yang diteliti dapat
dijawab secara tuntas. Penulis mengemukakan metode sebagai berikut:
- Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam penulisan ini adalah pendekatan yuridis empiris karena penulisan ini dimaksudkan untuk membahas secara teoritik mengenai praktek monopoli dan persaingan serta pengaruhnya bagi persaingan usaha serta pengaturannya dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Penelitian yuridis empiris dilakukan dengan cara meneliti data yang diperoleh langsung dari masyarakat atau data primer dengan cara melakukan pengambilan data dari instansi terkait.
- Spesifikasi Penelitian
Penulisan
ini bersifat diskriptif analistis karena secara spesifik penelitian ini
bertujuan memberikan gambaran mengenai praktek monopoli di Indonesia
dan pengaruhnya terhadap persaingan usaha serta pengaturannya sebelum
dan sesudah lahirnya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, sehingga dari analisis ini
dapat diperoleh kesimpulan umum mengenai persaingan bisnis yang paling
ideal dan tidak mengakibatkan monopoli atau persaingan usaha tidak sehat
- Sumber Data
Sumber data yang digunakan untuk penulisan ini adalah Library Research.
PEMBAHASAN
- Praktek Monopoli Sebelum dan Sesudah Lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
Monopoli
adalah ciri khas bisnis pada Era Orde Baru yang berdampak sangat
merugikan bagi perkembangan bisnis dan ekonomi di Indonesia. Kata
monopoli berasal dari bahasa Yunani yang berarti penjual tunggal. Di
Amerika sering digunakan istilah anti trust untuk pengertian yang
sepadan dengan “anti monopoli” atau istilah dominasi yang sering dipakai
oleh masyarakat Eropa, yang artinya sepadan dengan istilah monopoli.
monopoli sebagai suatu keistimewaan yang berupa hak eksklusif dalam
menjalankan perdagangan atau dalam memproduksi barang khusus, serta
dapat mengontrol penjualan dan distribusi produk tertentu.
Ciri
khas pemerintah Orde Baru adalah lebih mengutamakan pertumbuhan ekonomi
dari pada pembenahan masalah Negara yang lain, misalnya perbaikan
masalah hukum. Dalam perekonomian ada beberapa aktor pelaku pasar yaitu
pelaku usaha atau perusahaan dan asosiasi bisnis atau asosiasi pelaku
usaha yang juga memainkan peranan penting dalam berbagai industri.
Asosiasi bisnis atau trade association menjadi wadah bagi para pelaku usaha untuk berkomunikasi di antara pelaku usaha dalam industri yang sama dan berpengaruh dalam penentuan kebijakan
anggota dan industri mereka. Eksistensi asosiasi bisnis dibutuhkan dan
intens digunakan sebagai wadah untuk pelatihan, komunikasi, mencari
peluang bisnis, kerjasama, medium komunikasi dengan pemerintah, sumber
informasi, mencari peluang pasar baru, menetapkan standar regulasi
industri, menetapkan aturan atau perjanjian dalam bisnis bahkan melihat
strategi atau peluang apa yang terbuka dalam menembus pasar global.
Sering
secara umum pelaku usaha dalam asosiasi melakukan kesepakatan di antara
mereka sendiri. Perjanjian diantara mereka tidak semuanya berakibat
negatif bagi persaingan dan mungkin saja menghasilkan keuntungan.
Perjanjian yang dilakukan dapat ditujukan untuk mengurangi risiko usaha,
menciptakan efisiensi dan mendorong inovasi, efisiensi biaya ketika
melakukan riset penelitian bersama sampai pada pengembangan jaringan
distribusi.
Pelaku
usaha dan pesaing dapat juga berjanji untuk membatasi produksi sehingga
akan menyebabkan harga naik, menetapkan harga yang sama, dan merugikan
kepentingan konsumen dan perekonomian. Tindakan bersama
antara beberapa pelaku usaha dan pesaingnya membentuk oligopoli informal
baru yang menghasilkan beberapa pemain yang mendominasi pasar dan
selanjutnya menciptakan distorsi pasar yang akan menciptakan juga
monopolis baru.
Ada
lagi beberapa kegiatan yang dilakukan oleh dan difasilitasi oleh
asosiasi pelaku usaha yang sifatnya anti persaingan. Sebagaimana diatur
dalam konteks UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat, kegiatan lain itu misalnya Penetapan Harga
(price fixing). Sesuai dengan isi pasal 5 ayat (1) UU No.5 tahun 1999
penetapan harga didefinisikan sebagai berikut : “bahwa pelaku usaha
dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk
menetapkan harga atas suatu barang dan / atau jasa yang harus dibayar
oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama”.
- Prospek UU No. 5 Tahun 1999 Dalam Mencegah Terjadinya Praktek Monopoli
Tujuan
UU Antimonopoli Indonesia adalah menjaga kepentingan umum, meningkatkan
efisiensi ekonomi nasional, meningkatkan kesejahteraan rakyat,
menciptakan iklim usaha yang kondusif melalui persaingan sehat,
mewujudkan kegiatan usaha yang efektif dan efisien dengan melarang
monopoli.
Ketentuan
UU Antimonopoli baru dapat diterapkan kepada pelaku usaha yang membuat
perjanjian jika perjanjian tersebut mempunyai akibat terhadap pasar yang
bersangkutan, yaitu terjadi praktik monopoli dan/atau persaingan usaha
tidak sehat. Perjanjian yang bersifat rule of reason adalah ketentuan
pasal 7, pasal 8, pasal 9, pasal 11, pasal 16, pasal 22, pasal 23, dan
pasal 24. Perjanjian horisontal yang ditetapkan di dalam UU Antimonopoli
adalah sebagai berikut :
· Penetapan Harga
Ketentuan
pasal 5 ayat 1 adalah apa yang dikenal dengan larangan price fixing
secara horisontal. Ketentuan pasal 5 ayat 1 tersebut adalah suatu
larangan yang per se. artinya, para pelaku usaha otomatis ditindak oleh
KPPU, jika mereka membuat perjanjian penetapan harga, tanpa
memperhatikan apakah akan terjadi persaingan usaha tidak sehat atau
tidak sebagai akibat penetapan harga tersebut, karena yang mengalami
akibat dari perjanjian tersebut adalah konsumen/pembeli.
Dengan
demikian harga yang di bayar oleh konsumen / pembeli bukanlah harga
yang ditentukan oleh persaingan antar pelaku usaha, dan melalui proses
antara permintaan dan penawaran, melainkan karena ditetapkan oleh para
pelaku usaha yang membuat perjanjian price fixing tersebut.
Penetapan
harga suatu barang atau jasa tertentu ditetapkan berdasarkan banyak
faktor, dan dalam sistem ekonomi pasar penetapan harga juga ditentukan
oleh persaingan antar pelaku usaha pesaing. Menurut prinsip dasar
persaingan usaha, harga atas suatu barang atau jasa yang harus dibayar
oleh konsumen tidak boleh ditetapkan oleh siapapun, termasuk
asosiasi-asosiasi ekonomi seperti INACA.
· Diskriminasi Harga dan Diskon
Larangan penetapan diskriminasi (price discrimination)
disebutkan dalam pasal 6 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999. Pasal 6
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tersebut menyatakan bahwa pelaku usaha
dilarang membuat perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang satu harus
membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh
pembeli lain untuk barang dan/atau jasa yang sama.
Berdasarkan
ketentuan Pasal 6 tersebut, diskriminasi harga dilarang apabila pelaku
usaha membuat suatu perjanjian dengan pelaku usaha lain yang
mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar harga yang tidak sama
atau berbeda dengan harga yang harus dibayar pembeli lain untuk barang
dan/atau jasa yang sama, karena hal ini dapat menimbulkan persaingan
usaha yang tidak sehat di kalangan pelaku usaha atau dapat merusak
persaingan usaha.
Dalam
hal ini terdapat tiga jenis dan tingkatan strategis diskriminasi harga,
di mana setiap tingkatan menuntut informasi yang berbeda mengenai
konsumen, yaitu:
* Diskriminasi harga sempurna
Di
mana produsen akan menetapkan harga yang berbeda untuk setiap konsumen.
Dengan menerapkan strategi ini, produsen akan menyerap seluruh surplus
konsumen, sehingga dapat mencapai laba yang paling tinggi.
* Diskriminasi tingkat harga kedua,
Pada
strategi ini produsen menerapkan harga yang berbeda untuk setiap
pembelinya berdasarkan jumlah barang yang dibeli. Pembeli yang bersedia
membeli barang lebih banyak diberikan harga per unit yang lebih murah.
* Diskriminasi
harga umumnya ditetapkan produsen yang mengetahui bahwa permintaan atas
produk mereka beragam secara sistematik berdasarkan karakteristik
konsumen dan kelompok demografis.
· Pembagian Wilayah Pasar
Pembagian
wilayah pasar di antara pelaku usaha yang saling bersaing merupakan
salah satu bentuk perjanjian horisontal (kartel) yang dilarang oleh UU
Antimonopoli. Ketentuan pasal 9 menetapkan bahwa pelaku usaha dilarang
membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya dengan tujuan untuk
membagi wilayah pemasaran atau lokasi pasar terhadap barang dan / atau
jasa sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan / atau
persaingan usaha tidak sehat.
Unsur
yang harus dipenuhi dari ketentuan pasal 9 adalah bahwa pelaku usaha
harus saling bersaing pada pasar yang sama dan membuat suatu perjanjian
pembagian wilayah pemasaran. Akibat dari kesepakatan pembagian wilayah
pemasaran tersebut, wilayah pemasaran masing-masing pelaku usaha menjadi
terbatas.
· Pemboikotan
Pemboikotan
salah satu hambatan persaingan diatur di dalam ketentuan pasal 10 UU
Antimonopoli. Syarat-syarat terpenuhinya suatu pemboikotan adalah saat
para pelaku usaha yang saling bersaing pada pasar yang sama membuat
suatu perjanjian diantara mereka. Perjanjian yang dibuat mempunyai
akibat bagi pelaku usaha yang lain, yaitu menghambat untuk masuk kepasar
yang bersangkutan (pasal 10 ayat 1). Hal yang lazim dilakukan dalam
pemboikotan adalah pemboikotan pemasaran atau pembelian suatu barang
atau jasa tertentu yang dilakukan oleh pelaku usaha yang saling bersaing
sehingga merugikan pelaku usaha yang lain (pasal 10 ayat 2).
· Penetapan Jumlah Produksi
Ketentuan
pasal 11 mengatur larangan pengaturan jumlah produksi dan / atau
pemasaran suatu barang atau jasa tertentu yang bermaksud untuk
mempengaruhi harga yang dapat mengakibatkan praktek monopoli dan / atau
persaingan usaha tidak sehat. Ketentuan pasal 11 tersebut dapat
dikenakan, jika pelaku usaha yang saling bersaing membuat perjanjian
yang menetapkan jumlah produksi atau pemasaran barang tertentu.
Perjanjian tersebut harus mempunyai tujuan, yaitu untuk melakukan
kegiatan koordinasi produksi dan pemasaran yang mempengaruhi harga
barang atau jasa tertentu yang mengganggu (menghambat) persaingan pada
pasar yang bersangkutan. Unsur-unsur ketentuan pasal 11 adalah:
* Adanya perjanjian di antara pelaku usaha
* Mengatur jumlah produksi
* Mengatur pemasaran suatu barang dan/atau jasa
* Bermaksud untuk mempengaruhi harga
* Dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
· Persekongkolan
Persekongkolan
yang ditetapkan di dalam pasal 22 sampai pasal 24 mengenai pengaturan
tender, tukar menukar informasi, dan hambatan masuk pasar menunjukkan
bahwa UU Antimonopoli juga mengenal unsur yang disebut saling
menyesuaikan perilaku pasar pelaku usaha (kegiatan kolusif).
Persekongkolan
merupakan perjanjian horisontal yang dilakukan tanpa membuat suatu
perjanjian tertulis. Sejauh mana pembuktian suatu kegiatan
persekongkolan, dapat dilihat dari kondisi pasar yang bersangkutan,
yaitu terhambatnya persaingan diantara pelaku usaha karena penyesuaian
perilaku pelaku usaha yang satu yang diikuti secara sengaja (sadar) oleh
pelaku usaha yang lain untuk mencapai tujuan yang sama.
Pasal
22 mengatur larangan persekongkolan antara pelaku usaha dengan pihak
lain untuk mengatur dan / atau menentukan pemenang tender sehingga dapat
mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat. Persekongkolan yang
biasanya dilakukan dalam tender adalah untuk mempengaruhi harga yang
akan ditawarkan oleh peserta tender. Yang menjadi penghambat dalam
penerapan pasal 22 tersebut adalah ketentuan pasal 1 angka 8, yang
menetapkan bahwa persekongkolan atau konspirasi bentuk kerja sama antara
pelaku usaha yang satu dengan yang lain untuk menguasai pasar yang
bersangkutan bagi pelaku usaha yang bersekongkol.
Ketentuan
pasal 23 mengatur hambatan persaingan melalui tukar menukar informasi
antara pelaku usaha dengan pihak lain (pihak ketiga). Diasumsikan pihak
ketiga memberikan informasi pelaku usaha yang bersifat rahasia secara
strategis yang dapat mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat.
Persekongkolan
yang ditetapkan pasal 24 sebenarnya adalah suatu larangan tindakan
pemboikotan seperti yang ditetapkan di dalam pasal 10. Pelaku usaha
dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk menghambat produksi dan /
atau pemasaran barang dan / atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan
tujuan barang atau jasa pesaingnya berkurang pada pasar yang
bersangkutan, baik dari jumlah, kualitas, maupun ketepatan waktu yang
dipersyaratkan.
Dalam
aspek perilaku ini ditelusuri bentuk praktek yang tidak lazim dilihat
dan standar persaingan yang sehat dan jujur. Berbagai tindakan dan upaya
secara tidak sehat untuk menyingkirkan pelaku usaha lainnya (misalnya
trust, kartel, price fixing, diskriminasi harga, pembagian wilayah, dll)
biasa dimasukkan kedalam praktek monopoli dan persaingan tidak sehat.
RESUME
Monopoli
dan Persaingan Usaha merupakan hal biasa dalam kegiatan ekonomi. Sejauh
kegiatan itu dilakukan dalam rambu-rambu hukum, implikasi penerapan
monopoli dan persaingan usaha tidak bisa dihindari dalam mekanisme
ekonomi pasar. Hanya bedanya apa yang terjadi sebelum adanya
Undang-undang No.5 Tahun 1999 praktek-praktek monopoli maupuan
persaingan tidak diatur dalam koridor hukum yang seharusnya.
Sesudah
Undang-undang No. 5 Tahun 1999 Praktek Monopoli dalam kegiatan bisnis
dilarang jika terbukti merugikan pelaku usaha lain, konsumen, masyarakat
maupun negara. Undang-undang No. 5 Tahun 1999 menegaskan larangan
praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat diantara para pelaku
usaha dapat diancam dengan sanksi administratif dan sanksi pidana.
Ketentuan Undang-udang No. 5 Tahun 1999 telah memenuhi prinsip
Undang-undang Anti Monopoli dalam mengatur Struktur Pasar dan perilaku
bisnis, karena memuat gabungan dua pengaturan yang di masukkan dalam
satu kitab per undang-undangan baik itu mengenai Undang-undang Anti
Monopoli maupun peraturan perundangan yang menyangkut persaingan usaha
atau Competition Act.
Penegakan
hukum persaingan usaha di Indonesia diserahkan kepada Komisi Pengawas
Persaingan usaha (KPPU), selain keterlibatan aparat Kepolisian,
Kejaksaan dan Pengadilan. Penegakan pelanggaran hukum persaingan harus
dilakukan terlebih dahulu melalui KPPU. penegakan hukum persaingan usaha
dapat dilakukan oleh Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan saja. Karena
Pengadilan merupakan tempat penyelesaian perkara resmi yang dibentuk
oleh negara. Namun untuk hukum persaingan usaha, pada tingkat pertama
penyelesaian sengketa antar pelaku usaha tidak dapat dilakukan oleh
pengadilan. Alasannya adalah karena hukum persaingan usaha membutuhkan
orang-orang yang memiliki latar belakang dan/atau mengerti betul seluk
beluk bisnis dalam rangka menjaga mekanisme pasar.
Pelaksanaan
Undang-undang No.5 Tahun 1999 yang akan diterapkan pada pelaku usaha
yang melakukan praktek monopoli maupun praktek persaingan curang harus
dilaksanakan dengan berbagai pertimbangan efektifitas yang tepat.
Sehingga tidak mengganggu kepentingan efisiensi jalannya ekonomi negara
secara keseluruhan, tetapi tetap harus mengutamakan persaingan usaha
yang sehat dan jujur.
REFERENSI
Disusun Oleh :
- Annisa Meidiyoana (20210919)
- Dina Munawaroh (22210064)
- Dini Triana (22210079)
- Laraz Sekar Arum W (23210968)
- Nia Ismatu Ulfa (24210956)
Kelas : 2EB05
Tidak ada komentar:
Posting Komentar